Kasus Lisa Mariana dan Ridwan Kamil menyeret perhatian publik ke tengah pusaran skandal, sensasi, dan spekulasi politik. Seorang selebgram yang dulunya model majalah dewasa mengklaim memiliki anak dari mantan Gubernur Jawa Barat.
Ia hadir membawa cerita lengkap: kronologi, tempat pertemuan, bentuk komunikasi, hingga pengakuan soal pembiayaan hidup saat hamil.
Namun narasi itu dibantah keras oleh pihak Ridwan Kamil. Kuasa hukumnya bahkan menyebut isu ini bukan baru pertama kali muncul. Empat tahun lalu, kata mereka, tuduhan serupa pernah dilontarkan oleh orang yang sama—dan berakhir dengan permintaan maaf.
Kini kasus lama itu muncul lagi, justru ketika Ridwan Kamil mulai masuk dalam radar politik nasional.
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa tujuan dari kemunculan ulang cerita ini? Dan pertanyaan paling penting: siapa yang berkepentingan?Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan simpati atau benci. Publik berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya siapa yang sedang trending.
Sayangnya, hingga kini belum ada investigasi terbuka dari media arus utama. Isu ini terus bergulir di media sosial, dalam bentuk potongan video konferensi pers, narasi dramatis, atau serangan balasan yang membentuk opini.
Tak sedikit yang percaya Lisa adalah korban. Tapi tak sedikit pula yang meyakini ia hanya alat dalam operasi pembusukan karakter.
Inilah masalahnya. Ketika kebenaran hanya ditentukan oleh narasi yang paling viral, maka yang kalah adalah keadilan dan akal sehat.
Lisa Mariana kini didampingi tim kuasa hukum yang cukup aktif bicara ke media. Tapi siapa pendananya? Siapa yang memfasilitasi strategi komunikasinya? Mengapa ia memilih muncul kembali sekarang?
Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti. Tapi kita juga tidak boleh menutup mata terhadap kemungkinan bahwa skandal ini bisa saja digerakkan oleh kekuatan yang lebih besar.
Apalagi, Ridwan Kamil adalah nama yang tengah dipoles oleh partainya untuk menempati posisi strategis dalam pemerintahan atau Pilkada besar. Tak menutup kemungkinan, isu ini muncul untuk merusak ritme elektoralnya.
Di sisi lain, jika klaim Lisa Mariana benar, maka publik juga berhak mendapat kejelasan, bukan hanya bantahan. Tes DNA bisa menjadi jalan pembuktian objektif, bukan sekadar manuver konferensi pers.
Namun, apakah kita benar-benar menginginkan penyelesaian? Atau kita hanya menikmati drama ini sebagai hiburan politik menjelang kontestasi?
Sebab yang paling berbahaya bukanlah skandal itu sendiri, melainkan publik yang terbiasa menerima sensasi sebagai kebenaran.
Dalam sistem demokrasi, karakter dan integritas pejabat publik adalah fondasi utama kepercayaan. Tapi jika verifikasi disubstitusi dengan viralitas, maka politik tak lagi soal kepercayaan—tapi soal siapa yang lebih cepat memainkan narasi.
Penting untuk dicatat: setiap orang punya hak atas reputasi dan pembelaan. Lisa Mariana berhak mengungkap kisahnya. Ridwan Kamil berhak membela diri. Tapi ketika semua ini dimainkan di ruang publik tanpa arah hukum yang jelas, yang dirusak adalah rasa percaya rakyat pada sistem.
Jika tuduhan ini palsu, maka hukum harus berjalan. Jika tuduhan ini benar, maka konsekuensinya pun harus nyata. Tapi jika ini hanya strategi untuk mengaburkan agenda politik, maka publik sedang diperalat secara masif.
Editorial ini tidak berpihak pada siapa pun, kecuali pada kepentingan agar kebenaran tidak diputuskan oleh noise.
Karena ketika isu pribadi dijadikan alat politik, dan publik dibiarkan menebak-nebak siapa dalangnya, maka demokrasi sedang dijalankan seperti panggung sandiwara.