Kebijakan pemerintah yang membatasi penjualan LPG 3 kg hanya di agen resmi Pertamina telah menciptakan kepanikan di masyarakat. Kelangkaan, antrean panjang, dan harga yang melambung justru memperburuk kondisi rakyat kecil yang bergantung pada gas bersubsidi ini. Presiden Prabowo akhirnya menginstruksikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk mengaktifkan kembali pengecer, sebuah langkah koreksi yang menunjukkan bahwa kebijakan sebelumnya memang bermasalah.
Namun, kebijakan semacam ini bukan sekadar salah langkah administratif. Ini adalah cerminan dari kegagalan sistemik dalam mengelola subsidi yang seharusnya tepat sasaran. Masalahnya bukan pada pengecer, melainkan pada lemahnya pengawasan distribusi dan sistem pendataan yang usang. Alih-alih membatasi akses, pemerintah seharusnya memperbaiki mekanisme subsidi agar benar-benar menyentuh mereka yang membutuhkan.
Penelitian dari The PRAKARSA menunjukkan bahwa pembatasan distribusi justru menciptakan pasar gelap. Ini ironis—maksud awal kebijakan adalah mencegah markup harga oleh pengecer, tetapi yang terjadi malah sebaliknya: harga di luar agen resmi melambung, merugikan masyarakat miskin yang tak punya pilihan selain membeli dengan harga lebih mahal. LPG, sebagai kebutuhan primer, bersifat inelastis—artinya, sekalipun harga naik, permintaan tetap tinggi. Inilah mengapa kebijakan yang tidak mempertimbangkan realitas di lapangan justru berpotensi menambah beban hidup rakyat.
Masalah mendasar yang perlu dibenahi adalah ketepatan sasaran subsidi. Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti bahwa LPG 3 kg kerap digunakan oleh kelompok ekonomi yang lebih mampu. Namun, definisi “tidak tepat sasaran” ini perlu evaluasi ulang. Kelas menengah yang rentan pun kini bergantung pada subsidi, mengingat tekanan ekonomi yang mereka alami. Jika pemerintah tetap ingin membatasi penggunaannya, maka solusi bukan dengan menutup akses pengecer, melainkan dengan memperkuat sistem pendataan dan distribusi.
Pola distribusi LPG juga perlu perhatian lebih. Di luar Jawa, akses terhadap agen resmi sangat terbatas, membuat masyarakat semakin kesulitan mendapatkan LPG bersubsidi. Pembatasan akses tanpa kesiapan infrastruktur hanya akan memperburuk ketimpangan antarwilayah. Belum lagi, kelangkaan LPG di berbagai daerah mencerminkan ketidaksiapan pemerintah dalam menyalurkan gas melon ini secara merata.
Masalah lainnya adalah kebijakan ini tidak mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Dalam kondisi ekonomi saat ini, tekanan tidak hanya dirasakan oleh kelompok termiskin. Kelas menengah bawah, yang secara teknis tidak tergolong miskin tetapi juga tidak sepenuhnya sejahtera, ikut merasakan dampaknya. Mereka adalah pekerja sektor informal, buruh harian, dan pedagang kecil yang menggantungkan usahanya pada LPG 3 kg. Ketika distribusi dipersulit, mereka harus mengeluarkan biaya lebih tinggi hanya untuk kebutuhan dasar.
Persoalan ini juga berkaitan dengan lemahnya pengawasan harga di tingkat pengecer. Pemerintah mengklaim bahwa pembatasan penjualan hanya di agen resmi bertujuan mencegah harga LPG melambung akibat spekulasi pengecer. Namun, kenyataannya, tanpa kontrol yang ketat, harga di agen resmi pun bisa tetap tinggi. Selain itu, kelangkaan di pangkalan resmi memaksa masyarakat membeli di pasar gelap dengan harga yang jauh lebih mahal.
Alih-alih menutup saluran distribusi, pemerintah seharusnya memperbaiki transparansi dan mekanisme pengawasan. Salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah pendataan digital bagi penerima subsidi, seperti yang diterapkan pada program bansos. Dengan sistem yang lebih akurat, subsidi dapat diberikan langsung kepada mereka yang berhak, tanpa harus membatasi akses di tingkat pengecer. Digitalisasi juga memungkinkan pemerintah untuk melacak distribusi LPG secara lebih rinci, mencegah kebocoran, dan memastikan stok tersedia di seluruh wilayah.
Langkah koreksi yang telah diambil oleh pemerintah dengan mengizinkan pengecer kembali berjualan adalah bentuk pengakuan atas kesalahan sebelumnya. Namun, ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa kebijakan yang dibuat tanpa kesiapan dan kajian mendalam hanya akan menciptakan ketidakpastian baru di masyarakat. Dalam konteks LPG 3 kg, kesalahan langkah pemerintah sudah terbukti menciptakan kekacauan di lapangan. Jika akar masalahnya tidak dibenahi, kebijakan semacam ini akan terus berulang, dan pada akhirnya, yang kembali menanggung akibatnya adalah rakyat kecil yang dapurnya semakin sulit mengepul.