Jakarta – Riak dalam tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) kian menggelora. KH Miftachul Akhyar, selaku Rais Aam PBNU, secara tegas meminta Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Desakan tersebut muncul melalui risalah hasil rapat harian Syuriyah PBNU yang memuat sejumlah tuduhan serius terhadap kepemimpinan Gus Yahya. Surat yang ditandatangani pada Selasa (12/4/2024) itu menyatakan tiga poin utama alasan permintaan mundur.
Pertama, adanya pelibatan narasumber yang terkait jaringan Zionisme Internasional dalam kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional NU (AKN NU) dinilai bertentangan dengan nilai Ahlussunnah wal Jamaah dan mencederai prinsip dasar NU.
Kedua, tindakan tersebut dianggap melanggar peraturan internal PBNU terkait pemberhentian fungsionaris karena mencemarkan nama baik organisasi.
Ketiga, dugaan ketidakberesan dalam tata kelola keuangan PBNU yang mengindikasikan pelanggaran hukum syariah dan perundang-undangan.
“Permintaan ini bukan tanpa dasar. Kami menilai telah terjadi penyimpangan prinsip yang mengancam integritas organisasi,” ungkap Miftachul Akhyar dalam kutipan surat tersebut.
KH Miftachul Akhyar merupakan tokoh senior NU yang menjabat Rais Aam PBNU periode 2021–2026. Ia terpilih dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung melalui mekanisme Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA). Tokoh kelahiran Surabaya tahun 1953 ini dikenal sebagai ulama kharismatik dengan latar belakang pendidikan pesantren kuat, termasuk di Pondok Tambak Beras Jombang dan Sidogiri Pasuruan.
Sebelum menjabat sebagai Rais Aam, Miftachul Akhyar pernah memimpin MUI Jawa Timur dan memegang berbagai posisi strategis di NU tingkat kota hingga pusat. Ia juga menjadi pengasuh Pondok Pesantren Miftachussunnah di Surabaya, yang menjadi basis dakwahnya.
Keputusan mendesak Gus Yahya mundur telah menciptakan ketegangan internal, terutama karena Gus Yahya sebelumnya menyatakan tidak akan mundur dan berkomitmen menyelesaikan masa jabatannya. Beberapa kalangan menilai hal ini dapat mengarah pada konflik yang lebih luas dalam tubuh NU.
Surat desakan ini memberikan batas waktu tiga hari kepada Gus Yahya untuk menyatakan mundur. Jika tidak, maka akan dilakukan pemberhentian oleh Syuriyah PBNU. Situasi ini menjadi ujian besar bagi soliditas organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut.
Langkah Miftachul Akhyar mengundang beragam respons dari masyarakat dan warga NU. Sebagian mendukung penegakan disiplin organisasi, namun tak sedikit pula yang khawatir akan dampak perpecahan yang berkepanjangan.
PBNU kini berada di persimpangan jalan, di mana keputusan dan sikap para tokohnya akan menentukan arah masa depan organisasi. Dalam pusaran konflik ini, NU diharapkan tetap mampu menjaga marwah dan keutuhan sebagai penjaga tradisi Islam moderat di Indonesia.
