Koperasi seharusnya menjadi simbol kekuatan rakyat, tempat di mana gotong royong bertemu dengan kedaulatan ekonomi dari bawah. Namun kini, narasi itu dibajak oleh kepentingan kekuasaan. Alih-alih memperkuat desa, koperasi justru dimanfaatkan sebagai instrumen proyek politik.
Wacana pembentukan Koperasi Desa Merah Putih yang digaungkan pemerintah pusat menghadirkan kekhawatiran. Bukannya memberdayakan desa, program ini justru menunjukkan kecenderungan kuat ke arah sentralisasi dan intervensi terhadap otonomi desa.
Setiap desa diwajibkan membentuk koperasi dengan anggaran Rp5 miliar melalui skema kredit dari bank milik negara (Himbara). Jika dijumlahkan, total kebutuhan dana mencapai Rp400 triliun. Karena APBN tidak mencukupi, solusinya: desa berutang ke bank dan mencicilnya dari dana desa.
Skema ini terlihat sebagai jebakan keuangan struktural. Desa meminjam atas nama pembangunan, tapi arah dan bentuk usaha ditentukan oleh pusat. Ini merusak semangat koperasi yang seharusnya tumbuh dari bawah dan berdasarkan kebutuhan lokal.
Lebih parah lagi, enam sektor usaha Kopdes Merah Putih seperti apotek dan distribusi pangan ditentukan langsung oleh pemerintah pusat. Padahal, UU Desa menjamin otonomi desa untuk menentukan arah pembangunan sesuai aspirasi warganya.
Intervensi ini menjadikan koperasi sebagai proyek top-down—bukan hasil musyawarah warga desa, melainkan perintah dari atas. Semangat koperasi ala Bung Hatta, yakni “Ko” (bersama) dan “Operasi” (bekerja), tidak lagi terlihat. Yang bekerja desa, yang untung dan ngatur pusat.
Risiko lain muncul di sektor keuangan. Bank Himbara diarahkan menyalurkan kredit ke Kopdes tanpa proses due diligence yang memadai. Potensi gagal bayar pun tinggi. Jika ini terjadi secara massal, risiko sistemik terhadap perbankan nasional menjadi sangat nyata.
Dan seperti biasa, jika terjadi krisis perbankan, rakyat akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Dana publik akan digunakan untuk menyelamatkan bank yang sebenarnya sedang melaksanakan perintah politik, bukan keputusan bisnis murni.
Tak hanya itu, pemerintah juga diduga mengalihkan pos anggaran dari APBD, seperti Dana Tidak Terduga yang semestinya digunakan untuk bencana, ke proyek Kopdes Merah Putih. Ini adalah bentuk pemaksaan pusat terhadap daerah dan jelas bertentangan dengan semangat desentralisasi.
Pemaksaan ini membuat kepala daerah dan kepala desa seperti kehilangan otoritas. Mereka hanya menjadi pelaksana kebijakan pusat. Desa yang semestinya memiliki hak menentukan prioritas, kini dikendalikan dari Jakarta melalui skema utang dan program yang dikemas seolah-olah untuk rakyat.
Situasi ini menunjukkan bahwa persoalannya bukan sekadar soal koperasi, tetapi lebih dalam: upaya kontrol terhadap desa menjelang pemilu 2029. Desa dijadikan objek politik, bukan subjek pembangunan. Dana dijadikan alat kendali. Tunduk, dana turun. Melawan, dana macet.
Kepala desa pun banyak yang memilih diam. Padahal Pilkades kerap memicu konflik antarwarga dan menjadi ajang kontestasi sengit. Tapi setelah terpilih, mereka lebih memilih tidak melawan arus kebijakan pusat. Desa pun stagnan, jalan di tempat.
Kepala desa seharusnya bersuara lantang. Mereka dipilih rakyat, bukan diangkat oleh pusat. Sudah saatnya mereka memperjuangkan hak penuh atas dana desa dan menolak skema utang yang justru membebani pembangunan jangka panjang.
Jika pemerintah memang ingin membangun koperasi sejati, pendekatannya harus dari bawah. Mulai dari pendidikan koperasi sejak dini, bangun akses modal berbasis anggota, dan dorong keputusan yang demokratis. Bukan dengan utang paksa dan instruksi dari atas.
Koperasi harus didukung, benar. Tapi bukan dengan cara seperti ini. Yang kita butuhkan adalah koperasi rakyat, bukan koperasi proyek. Kita butuh BUMDes yang dikelola warga, bukan struktur utang terselubung yang dibungkus jargon gotong royong.
Koperasi simpan pinjam banyak yang mati bukan karena tak mampu bersaing, tapi karena dipaksa menghadapi kredit bank Himbara dengan regulasi yang mencekik, bunga tinggi, dan tanpa dukungan kebijakan. Negara gagal melindungi koperasi dari pasar yang tidak adil.
Kalau ingin koperasi hidup, negara harus membuka akses pasar dan menciptakan ekosistem yang setara. Bukan membiarkan koperasi bertarung sendiri di arena yang sudah dimonopoli oleh kekuatan modal besar.
Koperasi adalah gerakan rakyat. Ia tidak boleh dikendalikan oleh surat keputusan menteri atau dipaksa berutang atas nama rakyat. Bila terus dipolitisasi, maka yang lahir bukan pemberdayaan, melainkan penjajahan dalam bentuk baru.
Pemerintah harus jujur menjawab: apakah Kopdes Merah Putih demi rakyat, atau sekadar alat konsolidasi politik? Jika demi rakyat, maka biarkan rakyat desa yang mengelolanya sendiri. Tanpa tekanan, tanpa utang, tanpa kendali pusat.
Kembalikan koperasi pada jati dirinya: milik bersama, dikelola bersama, dan untuk kesejahteraan bersama. Jika tidak, yang kita miliki hanyalah ilusi kemandirian, di atas reruntuhan otonomi desa.