Pemerintah Indonesia kembali menerbitkan Sukuk Tabungan sebagai salah satu strategi untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tahun ini, penerbitan ST013 dimulai pada 8 November 2024 dengan target perolehan Rp 20 triliun yang akan berakhir pada 4 Desember 2024.
Data terkini menunjukkan bahwa hingga 18 November, sukuk ini telah berhasil meraup Rp 6,9 triliun. Sukuk ini menawarkan imbal hasil 6,4% untuk tenor 2 tahun dan 6,5% untuk tenor 4 tahun, menjadikannya produk investasi syariah yang menarik bagi warga negara Indonesia (WNI).
Namun, meskipun strategi utang melalui instrumen sukuk ini mendapatkan sambutan positif, beban utang pemerintah masih terus meningkat signifikan. Hingga Agustus 2024, total utang pemerintah telah mencapai Rp 8.444 triliun atau sekitar 40% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, menurut data dari Kementerian Keuangan.
Pada saat yang sama, pada Juli 2024, utang pemerintah dilaporkan CNBC Indonesia telah menyentuh Rp 8.500 triliun, terdiri dari Rp 7.483,09 triliun dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp 990,81 triliun dalam bentuk pinjaman.
Dari total SBN ini, Rp 6.103,90 triliun adalah utang domestik, sedangkan Rp 1.379,19 triliun merupakan utang dalam valuta asing.
Tingginya utang Indonesia turut dibayangi oleh besarnya bunga yang harus dibayarkan. Pemerintah memproyeksikan bahwa pada 2024, pembayaran bunga utang mencapai Rp 498,95 triliun, hampir setara dengan 16% dari APBN. Angka ini terdiri dari bunga utang dalam negeri sebesar Rp 454,36 triliun dan bunga utang luar negeri sebesar Rp 44,59 triliun, sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan Kementerian Keuangan, Riko Amir.
Pembayaran bunga yang terus meningkat ini telah menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan fiskal jangka panjang Indonesia, terutama dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Sebagian besar beban pembayaran bunga ini memang diterima oleh pelaku usaha dan masyarakat dalam negeri, mengingat sekitar 99,5% dari total bunga atau imbal hasil utang dibayarkan kepada investor domestik. Hal ini memberikan manfaat tersendiri bagi perekonomian dalam negeri, tetapi tetap menimbulkan risiko tinggi pada APBN.
Pada 2024, porsi anggaran yang dialokasikan untuk belanja bunga utang lebih besar dibandingkan anggaran untuk kesehatan atau infrastruktur. Data APBN 2024 menunjukkan alokasi belanja kesehatan hanya Rp 168,8 triliun, sementara infrastruktur sekitar Rp 392 triliun, keduanya jauh di bawah alokasi pembayaran bunga.
Mengelola utang dengan terus menambah beban bunga setiap tahun, tanpa menyeimbangkan antara pengeluaran dengan pertumbuhan pendapatan negara, berpotensi menimbulkan beban berkelanjutan pada APBN. Sejarah telah menunjukkan risiko yang dihadapi ketika negara terlalu bergantung pada utang luar negeri.
Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi di masa Orde Baru, di mana beban utang yang berat memicu ketidakstabilan fiskal dan akhirnya berkontribusi pada runtuhnya pemerintahan. Negara-negara seperti Sri Lanka juga memberikan pelajaran penting: ketidakmampuan membayar utang dapat menyebabkan krisis politik dan ekonomi yang berat, yang akhirnya membuat presiden mereka terpaksa melarikan diri.
Untuk memperbaiki keberlanjutan fiskal, pemerintah perlu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan pada utang. Reformasi perpajakan yang kuat dapat menjadi kunci untuk meningkatkan penerimaan.
Dengan rasio pajak terhadap PDB yang baru mencapai sekitar 10,1%, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand dan Malaysia, yang memiliki rasio pajak mendekati 14%.
Peningkatan itu sangat diperlukan untuk menciptakan anggaran yang lebih berimbang dan mengurangi tekanan terhadap pembiayaan utang.
Selain itu, kebijakan fiskal yang lebih ketat terhadap belanja non-prioritas juga harus diterapkan. Pada 2024, belanja pemerintah diperkirakan mencapai Rp 3.325,1 triliun, namun sekitar Rp 392,1 triliun di antaranya merupakan belanja infrastruktur, yang merupakan salah satu prioritas utama pemerintah.
Namun, masih ada belanja pemerintah yang bersifat rutin dan kurang produktif yang seharusnya bisa dikurangi. Memperketat belanja yang tidak efisien dapat membantu mengalihkan dana menuju sektor produktif yang memberikan dampak langsung pada ekonomi.
Dari sisi instrumen pembiayaan, pemerintah perlu lebih selektif dalam menggunakan utang valuta asing (valas). Utang dalam bentuk valuta asing saat ini mencapai Rp 1.379,19 triliun, yang berisiko tinggi karena terpapar fluktuasi nilai tukar.
Kondisi itu dapat semakin memperparah beban pembayaran utang ketika nilai rupiah melemah terhadap dolar AS atau mata uang lainnya. Lebih jauh, utang valas juga menempatkan Indonesia dalam posisi rentan terhadap guncangan ekonomi global.
Penting pula bagi pemerintah untuk terus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana dari penerbitan sukuk seperti ST013. Partisipasi publik dalam instrumen syariah ini menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi harus diimbangi dengan pelaporan yang jelas mengenai penggunaan dana tersebut untuk pembangunan yang produktif.
Dalam mengelola utang, Indonesia perlu keseimbangan antara memenuhi kebutuhan anggaran dan menjaga stabilitas fiskal. Utang yang dilakukan dengan kehati-hatian dan efisiensi tinggi dapat menjadi alat pembangunan yang produktif. Namun, jika tidak dikendalikan, risiko krisis utang di masa depan tetap ada.
Maka dari itu, pemerintah harus berkomitmen untuk memperkuat struktur pendapatan negara, menyeimbangkan pengeluaran, dan melakukan pembatasan terhadap utang valas. Hal ini akan memastikan bahwa utang yang diambil benar-benar memberikan manfaat bagi generasi mendatang.