Ketimbang terus dibayangi ketakutan oleh ancaman pidana karena memutar lagu tanpa izin, mungkin ini saatnya beralih ke cara baru: menggunakan musik buatan kecerdasan buatan (AI). Di tengah rumitnya sistem lisensi dan tumpang tindih kewenangan LMK di Indonesia, musik AI bisa menjadi alternatif legal, praktis, dan bebas royalti bagi pelaku usaha, pembicara publik, penyelenggara event, bahkan kafe dan restoran.
Persoalan ini muncul bukan dari penolakan terhadap hak cipta. Justru sebaliknya, pelaku usaha ingin mematuhi aturan. Tapi yang terjadi, hukum berjalan tanpa infrastruktur yang jelas. Pelaku usaha kecil harus menghadapi lembaga-lembaga manajemen kolektif yang tidak saling terhubung. Mereka harus menebak-nebak LMK mana yang punya hak atas lagu tertentu, dan bagaimana cara membayar dengan benar.
Puncaknya, banyak yang akhirnya berhenti memutar lagu lokal Indonesia. Mereka lebih memilih diam daripada mengambil risiko hukum. Ini adalah kerugian besar bagi ekosistem musik kita.
Namun di saat yang sama, teknologi menghadirkan opsi yang belum banyak dibicarakan: musik buatan AI, yang bisa diproduksi tanpa melibatkan hak cipta tradisional. AI saat ini bisa menghasilkan musik dalam berbagai genre, suasana, dan tempo. Dari musik latar pelatihan hingga instrumental untuk kafe, semuanya bisa disesuaikan.
AI tidak hanya meniru. Platform seperti Amper Music, AIVA, Soundraw, dan Ecrett Music telah memungkinkan siapa pun membuat musik orisinal dalam hitungan menit. Musik ini tidak punya pemilik hak cipta manusia. Dan sebagian besar platform memberi lisensi bebas pakai (royalty-free), bahkan ada yang mengizinkan distribusi tanpa batas untuk keperluan komersial.
Dengan kata lain, kita bisa membuat album penuh musik akustik, jazz ringan, ambient, atau chillhop untuk digunakan di ruang publik, tanpa harus membayar siapa pun atau meminta izin kepada LMK mana pun.
Bayangkan jika pelaku UMKM, pembicara publik, hingga lembaga pelatihan bisa mengakses ratusan musik seperti ini secara gratis. Tanpa rasa takut disomasi. Tanpa birokrasi izin. Tanpa ancaman pidana.
Lebih jauh, jika ini dikelola bersama, kita bahkan bisa membangun gerakan kolektif: produksi musik AI lokal tanpa hak cipta, yang bisa diakses publik secara terbuka. Ini bukan hanya solusi teknis, tapi langkah budaya yang inklusif. Di mana musik kembali menjadi milik bersama, bukan ranjau hukum.
Tentu akan ada pertanyaan soal kualitas. Apakah musik buatan AI bisa menandingi karya musisi manusia? Untuk panggung hiburan besar, jawabannya mungkin belum. Tapi untuk kebutuhan fungsional—seperti latar suasana di seminar, musik pembuka kelas, musik santai di kafe, atau latar audio TikTok—jawabannya adalah: bisa dan sangat cukup.
Kita harus bedakan antara musik untuk apresiasi artistik dan musik untuk kebutuhan suasana. Yang terakhir inilah yang selama ini menimbulkan polemik hukum. Karena pengguna hanya butuh “mood” yang dibangun oleh musik, bukan personalitas artis yang menciptakannya.
Di sinilah AI bisa mengisi ruang itu. Musik sebagai fungsi, bukan sebagai produk yang harus dikomersialkan ulang lewat birokrasi.
Sebagai bentuk keberanian kolektif, komunitas pelaku usaha bahkan bisa berinisiatif membangun perpustakaan musik AI bebas pakai. Bisa dikurasi tematik: untuk pelatihan, untuk coffee shop, untuk toko ritel, untuk acara publik. Setiap musik bisa diklasifikasikan berdasarkan mood, tempo, dan instrumen.
Lebih jauh, ini bisa menjadi bentuk resistensi kultural atas sistem lisensi yang tidak berpihak pada publik. Jika hukum membuat kita menjauh dari musik lokal, maka teknologi bisa menjadi jembatan baru agar musik tetap hidup—tanpa menunggu izin dari lembaga yang tidak jelas siapa wakil siapa.
Namun, langkah ini tetap harus bijak. Musik AI tidak boleh menjadi alat untuk menjatuhkan hak seniman. Solusi ini bukan untuk menggantikan artis, tapi untuk mengisi ruang yang selama ini dibiarkan penuh ketakutan oleh regulasi yang gagal menjawab kebutuhan.
Pemerintah seharusnya mendukung inisiatif ini. Kementerian Kominfo dan Kementerian Koperasi dan UMKM bisa memfasilitasi pelatihan produksi musik AI sederhana. Bahkan bisa membangun platform musik bebas royalti nasional, hasil kolaborasi kreator lokal dan teknologi AI.
Jika di negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan, musik AI sudah mulai digunakan untuk kebutuhan iklan, game, dan media, Indonesia tidak boleh tertinggal hanya karena kita terjebak dalam model hukum yang ketinggalan zaman.
Lebih dari itu, ini bisa membuka ruang inklusif bagi mereka yang tidak punya akses ke industri musik tradisional. Anak muda yang jago AI bisa membuat musik tanpa harus punya label. Pelaku usaha bisa menggunakannya tanpa takut. Publik bisa menikmati musik tanpa khawatir melanggar hukum.
Ketika hukum terlalu rumit untuk dipatuhi oleh orang biasa, maka solusi yang adil adalah membuka jalan lain yang sah dan terbuka. Musik AI adalah jalan itu.