Retorika “pengkhianatan” dan “dizalimi” tengah ramai dipertontonkan ke ruang publik. Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo kini digambarkan seolah berada di dua kutub yang saling menuding.
Padahal, relasi mereka sejak awal adalah persekutuan politik yang saling menguntungkan.
Kini, ketika kepentingan berseberangan, publik digiring untuk bersimpati kepada narasi penderitaan politik. Pernyataan Faisal Assegaf bahwa “mereka hampir berhasil membentuk opini publik bahwa mereka terzolimi, dizolimi oleh anak asuhnya yang durhaka,” menjadi pembuka diskusi kritis.
Jika benar Jokowi dianggap sebagai “anak asuh politik” Megawati, maka pencapaian maupun kegagalannya selama dua periode adalah cerminan dari dukungan struktural yang ia terima.
Megawati dan PDIP bukan penonton dalam pembangunan kekuasaan Jokowi—mereka adalah arsitek awalnya. Pada 2014 dan 2019, PDIP menjadi mesin utama pencalonan Jokowi, memberi dia legitimasi dan infrastruktur politik.
Ketika proyek kekuasaan itu kini tampak melenceng dari jalur yang diharapkan, muncul narasi seolah Megawati adalah korban. Padahal, kekuasaan yang dijalankan Jokowi juga adalah buah dari pembiaran, kompromi, dan kalkulasi bersama selama bertahun-tahun.
Secara politis, narasi dizalimi ini sangat efektif. Ia menciptakan dikotomi moral antara “yang setia” dan “yang durhaka”, antara “ideologi” dan “pragmatisme kekuasaan”.
Padahal, publik perlu mempertanyakan: bagaimana selama dua periode ini PDIP ikut merancang kebijakan strategis negara? Dalam parlemen, PDIP memiliki peran dominan.
Banyak regulasi penting—termasuk yang kontroversial seperti UU Cipta Kerja, RKUHP, hingga revisi UU KPK—disetujui di bawah dominasi koalisi pemerintah, yang salah satunya digawangi oleh PDIP.
Artinya, tudingan bahwa Jokowi menindas rakyat tidak bisa dipisahkan dari peran dan tanggung jawab kolektif partai pengusungnya. Jika ada kebijakan yang merugikan rakyat, semua pihak yang terlibat dalam pemerintahan patut dikritisi, bukan hanya satu tokoh.
Maka menjadi tidak adil jika kini Megawati berusaha mencuci tangan dan tampil sebagai sosok yang dizalimi demi menyelamatkan citra politik partainya.
Secara sosial, narasi ini juga mengancam kualitas demokrasi. Ia mengalihkan perhatian publik dari isu substansial seperti kemiskinan, korupsi, dan krisis iklim, menjadi drama personal elite.
Rakyat disuguhkan konflik “guru dan murid”, bukan evaluasi objektif terhadap kebijakan negara. Di saat harga pangan melonjak dan ketimpangan sosial melebar, diskursus publik justru dipenuhi spekulasi tentang siapa yang berkhianat terhadap siapa.
Dari perspektif budaya politik, ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia masih sangat elitis. Rakyat seringkali dijadikan alat—baik sebagai simpatisan yang digiring emosinya, maupun sebagai massa yang ditakut-takuti dengan wacana perpecahan.
Padahal, kepentingan rakyat jarang benar-benar menjadi pusat pertimbangan. Yang utama tetap kekuasaan dan keberlangsungan dinasti politik.
Secara hukum, tidak ada yang salah dengan Presiden membangun basis kekuasaan di luar partai pengusungnya, selama itu sesuai dengan konstitusi. Namun, ketika ini dibingkai sebagai “pengkhianatan” atau “pendurhakaan”, kita seolah membenarkan loyalitas personal di atas hukum dan institusi.
Ini berbahaya. Negara seharusnya tidak dikelola dengan logika relasi guru-murid atau orang tua-anak. Ia harus dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan rule of law.
Dari sisi ekonomi-politik, konflik ini tidak bisa dilepaskan dari perebutan pengaruh menjelang 2024 dan 2029. Jokowi dengan basis relawan dan dinasti politiknya mulai membentuk poros sendiri.
Sementara PDIP berusaha mempertahankan kontrol atas basis ideologis partai. Dalam situasi ini, rakyat lagi-lagi hanya menjadi penonton yang diminta memilih kubu, bukan menentukan masa depan secara rasional.
Lalu, apa yang bisa dilakukan masyarakat? Pertama, jangan terjebak pada narasi personal elite. Kita harus mendesak agar wacana politik beralih pada kebijakan substantif, bukan kisah pengkhianatan ala sinetron.
Evaluasi harus berbasis pada kinerja dan rekam jejak, bukan loyalitas atau nostalgia sejarah.
Kedua, penting bagi media dan civil society untuk memfasilitasi diskusi yang lebih rasional dan terbuka. Saat ini, media sosial dibanjiri konten manipulatif yang menggiring emosi, bukan nalar.
Pendidikan politik harus kembali diperkuat, agar masyarakat bisa membedakan mana kritik objektif dan mana manipulasi narasi.
Ketiga, lembaga-lembaga negara harus tetap independen. KPK, Mahkamah Konstitusi, dan institusi pengawas lainnya tidak boleh terseret dalam konflik elite. Mereka harus menjadi penyeimbang yang menjaga agar proses politik tetap dalam jalur demokratis.
Demokrasi tidak akan maju jika kita terus-menerus menormalisasi konflik elite sebagai bagian dari dinamika wajar. Kita harus menuntut lebih: transparansi, konsistensi, dan keberanian untuk mempertanggungjawabkan kekuasaan.
Baik Megawati maupun Jokowi harus menjelaskan kepada publik, bukan saling sindir atau memainkan peran korban. Karena pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bertanggung jawab, bukan yang lihai bermain narasi.