Judi online tumbuh subur di Indonesia, bukan karena hukum membolehkannya, melainkan karena sistem penegakan hukum membiarkannya. Praktik perjudian daring yang seharusnya berada di bawah pengawasan ketat, justru berkembang secara masif, terorganisir, dan terang-terangan. Ironisnya, ketika para pemain kecil diburu aparat, para bandar besar tetap melenggang, seolah tak tersentuh hukum.
Pertanyaannya sederhana namun tajam: siapa yang melindungi mereka?
Kasus-kasus yang muncul ke publik justru memperlihatkan absurditas yang menyakitkan. Beberapa pelaku judi online yang ditangkap adalah pemain atau pengecer kecil yang mencoba mengakali sistem untuk menang terus. Salah satunya kasus di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana lima orang ditangkap karena “membobol sistem” promosi situs judi online. Namun alih-alih menangkap pemilik situs—yang jelas-jelas mengoperasikan bisnis ilegal—aparat hanya menyasar mereka yang dianggap melanggar aturan main dari bandar judi itu sendiri.
Fenomena ini membangun persepsi publik bahwa negara tidak serius menindak kejahatan digital, apalagi jika sudah menyangkut keuntungan besar dan aliran dana haram.
Fakta lain yang tak bisa diabaikan adalah bahwa sebagian besar situs judi online beroperasi dari luar negeri—seperti Kamboja, Filipina, dan Thailand. Ini memang menjadi tantangan bagi penegakan hukum domestik. Tetapi menjadi masalah serius ketika situs-situs itu tetap bisa diakses luas di Indonesia, dengan iklan yang berseliweran di berbagai platform, bahkan menyusup ke aplikasi anak-anak.
Kominfo memang menyatakan telah memblokir lebih dari dua juta situs judi sejak 2022. Namun di sisi lain, setiap hari ada ribuan situs baru yang bermunculan. Pemblokiran bersifat reaktif dan tidak menyentuh akar persoalan: jaringan keuangan, alur transaksi, dan aktor pengelola.
Lalu muncul pertanyaan besar yang tak bisa lagi dihindari: apakah ada perlindungan dari dalam institusi penegak hukum?
Dugaan ini bukan sekadar asumsi kosong. Pada Agustus 2023, publik diguncang oleh pernyataan Mabes Polri sendiri, yang mengungkap bahwa sebanyak 27 anggota Polri terindikasi terlibat judi online, termasuk perwira menengah dan tinggi. Bahkan nama-nama perwira yang memiliki hubungan dengan operator situs sempat beredar luas di media sosial, meskipun kemudian dibantah secara formal.
Namun penegakan etik terhadap mereka cenderung tertutup dan tidak menimbulkan efek jera. Tak ada transparansi sanksi. Tak ada proses hukum pidana. Kasus ini meredup seiring waktu, sebagaimana banyak isu besar lain yang teredam oleh pusaran informasi baru.
Celakanya, kecurigaan masyarakat tidak mereda. Sebaliknya, semakin kuat. Apalagi pola yang terlihat berulang: pemain ditangkap, tapi operator tetap mengudara. Situs tetap aktif. Aliran uang tetap berjalan.
Bandar besar judi online bukan pemain sembarangan. Mereka mengelola sistem pembayaran yang rumit, sering kali berbasis cryptocurrency atau jaringan rekening bayangan. Jika transaksi itu bisa berlangsung di dalam negeri, maka hampir pasti ada akses, kerja sama, atau pembiaran dari sistem perbankan dan pengawasan negara.
Penegakan hukum menjadi pincang ketika aparat justru berposisi ganda: sebagai penindak dan pelindung. Situasi ini mengingatkan pada masa kelam ketika aparat negara justru menjadi bagian dari kejahatan terorganisir. Ketika hukum hanya ditegakkan untuk rakyat kecil, tapi tidak pernah menjamah pelaku utama, maka yang tersisa dari hukum hanyalah formalitas dan ilusi.
Bahkan sejumlah analis keamanan digital menyebut bahwa judi online di Indonesia sudah memasuki tahap “kriminalitas berjaringan dengan pelindung institusional”. Artinya, aktivitas ini tidak bisa berjalan tanpa perlindungan dari dalam. Jika jaringan judi daring mampu beroperasi bertahun-tahun, membayar promosi, merekrut agen terbuka di media sosial, serta mengelola dana triliunan rupiah, maka sulit dipercaya itu bisa terjadi tanpa diketahui oleh aparat.
Kondisi ini harus diakui sebagai bentuk kegagalan negara dalam mengendalikan ruang digital dan memberantas kejahatan finansial. Lebih dari itu, ini adalah pengkhianatan terhadap mandat konstitusional, di mana negara seharusnya melindungi rakyat dari praktik ekonomi ilegal yang merusak struktur sosial dan moral publik.
Dampak sosial dari judi online sangat nyata. Ratusan kasus perceraian, utang, pencurian dalam keluarga, bahkan bunuh diri, tercatat dalam laporan tahunan lembaga advokasi digital dan LSM perlindungan anak. Tak sedikit pelajar dan mahasiswa yang terjerumus karena aksesnya yang mudah dan promosi yang manipulatif.
Namun, negara seperti berpura-pura tidak tahu. Tindakan aparat sering kali hanya reaktif—penangkapan simbolik, konferensi pers sesaat, lalu senyap. Padahal yang dibutuhkan adalah reformasi besar-besaran dalam strategi pemberantasan judi online.
Pertama, penindakan harus menyasar jaringan keuangan dan perbankan yang digunakan oleh bandar, bukan hanya situsnya. Pemerintah harus berani menyentuh akar ekonomi dari praktik ini, termasuk memantau payment gateway, dompet digital, dan rekening pribadi yang digunakan sebagai perantara.
Kedua, perlu dibentuk satuan tugas independen lintas lembaga yang terdiri dari penyidik siber, pakar keamanan digital, otoritas keuangan, dan pengawas perbankan. Satgas ini harus memiliki akses penuh dan kewenangan lintas batas.
Ketiga, Presiden dan DPR harus memastikan bahwa reformasi di tubuh Polri berjalan sungguh-sungguh. Dugaan keterlibatan oknum polisi dalam judi online tidak bisa ditangani dengan mekanisme internal saja. Harus ada investigasi terbuka dan pertanggungjawaban publik.
Jika hal-hal ini tidak dilakukan, maka rakyat berhak menyimpulkan bahwa negara telah gagal. Gagal menjalankan hukum. Gagal melindungi moral generasi. Dan gagal memberantas praktik haram yang justru dilindungi oleh institusinya sendiri.
Editorial ini menyerukan kepada Presiden, Kapolri, dan seluruh pemangku kebijakan: jika masih ada komitmen pada hukum, maka tunjukkan pada kasus ini. Jangan biarkan aparat menjadi beking kejahatan. Jangan ulangi kebusukan lama dalam wajah baru.
Jika tidak, maka publik akan berhenti percaya. Dan ketika kepercayaan hilang, yang tersisa hanya apatisme dan amarah.