Ketegangan politik PDIP mencuat ke permukaan setelah keputusan mengejutkan partai banteng merah ini memecat Joko Widodo, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Muhammad Bobby Afif Nasution dari keanggotaan. Langkah ini bukan hanya memutus hubungan politik personal, tetapi juga mengubah lanskap politik nasional.
Surat pemecatan, ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekjen Hasto Kristiyanto, diumumkan secara resmi pada Senin (16/12/2024). Dalam pidato Ketua Bidang Kehormatan Komarudin Watubun, pemecatan ini merupakan konsekuensi atas pelanggaran anggaran dasar partai yang tak dijelaskan secara spesifik. Namun, hubungan yang kian memburuk antara Joko Widodo dan PDIP dalam setahun terakhir menjadi alasan utama langkah ini diambil.
Keputusan ini menandai babak akhir perjalanan politik Joko Widodo sebagai “petugas partai” yang akhirnya membelot bersama keluarganya, termasuk Gibran, yang kini telah resmi menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Dinamika Relasi yang Retak
Ketegangan antara PDIP dan Joko Widodo mulai mencuat sejak pemilu 2024. Pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, yang didukung secara terbuka oleh Joko Widodo, berhasil menyingkirkan capres PDIP, Ganjar Pranowo, dari kursi kepresidenan. Kekalahan ini memperkuat persepsi bahwa dukungan Jokowi telah menciptakan “kubu tandingan” di dalam partai.
Bahkan di level daerah, kekalahan kandidat PDIP di Jawa Tengah dan Sumatra Utara dari calon yang didukung Jokowi menambah luka politik. PDIP, partai yang pernah menjadi kendaraan politik utama Jokowi, kini merasa tersingkirkan di “kandang banteng” sendiri.
Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden, juga menjadi simbol pergeseran ini. Proses politiknya, mulai dari “dikuningkan” oleh Partai Golkar hingga menjadi pendamping Prabowo di Pilpres 2024, menunjukkan betapa kendali PDIP terhadap Joko Widodo dan keluarganya telah runtuh.
Petugas Partai yang Membelot
Sejak awal karier politiknya, Joko Widodo dikenal sebagai “petugas partai,” istilah yang sering ditegaskan oleh Megawati. Sebutan ini sempat mengundang kritik, dianggap merendahkan peran seorang pemimpin yang seharusnya berada di atas kepentingan partai. Namun, Jokowi tampaknya berusaha keluar dari bayang-bayang PDIP, mengukuhkan dirinya sebagai pemimpin nasional yang independen.
Langkah Jokowi untuk mendukung Prabowo dan Gibran di Pilpres 2024 merupakan puncak dari pembelotannya. Tidak hanya Jokowi, keluarganya—termasuk Gibran dan Bobby—terlihat mengambil sikap politik yang bertentangan dengan PDIP. Ini merupakan bentuk keberanian, meskipun dengan konsekuensi politik besar.
Ironisnya, konflik ini mengingatkan pada dinamika besar politik Indonesia di masa lalu. Pada awal era reformasi, Megawati sendiri pernah menjadi bagian dari pengkhianatan besar terhadap koalisi reformasi yang semula dibangun bersama Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Amien Rais, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Koalisi yang bertujuan mengembalikan demokrasi pasca-Orde Baru itu retak ketika Megawati, yang seharusnya mendukung Gus Dur sebagai presiden, justru bersekutu dengan Amien Rais untuk menjatuhkannya melalui Sidang Istimewa MPR 2001. Megawati pun merebut kursi presiden itu dengan cara ‘konstitusional’
Gus Dur akhirnya digulingkan. Amien Rais memimpin proses tersebut dari kursi Senayan. Sementara Sultan Hamengkubuwono X kembali ke posisinya sebagai simbol budaya di Yogyakarta.
Pengkhianatan itu menjadi momen besar dalam sejarah politik Indonesia yang membuktikan bahwa kekuasaan kerap memicu perseteruan di antara sekutu. Kini, apa yang terjadi pada Jokowi adalah gambaran dari ungkapan lama: sesama pengkhianat pada akhirnya akan saling mengkhianati.
Implikasi Politik dan Solusi ke Depan
Keputusan pemecatan ini menegaskan bahwa PDIP tengah merestrukturisasi kekuatannya, mengeliminasi figur-figur yang dianggap tak sejalan. Namun, langkah ini berisiko menciptakan fragmentasi lebih lanjut dalam politik nasional.
PDIP kini menghadapi tantangan untuk memulihkan kekuatan di tengah situasi politik yang terpecah. Kehilangan tokoh populer seperti Joko Widodo dan Gibran dapat memengaruhi basis pemilihnya, terutama di Jawa dan Sumatra.
Bagi Joko Widodo dan keluarganya, pemecatan ini mungkin menjadi peluang untuk membangun poros politik baru yang lebih independen. Namun, upaya ini harus disertai dengan komitmen untuk tetap mendukung stabilitas politik nasional, tanpa memicu konflik yang merugikan bangsa.
PDIP dan Joko Widodo telah memasuki fase hubungan baru yang lebih berjarak. Pemecatan ini bukan sekadar akhir dari ikatan formal, tetapi juga simbol pergeseran kekuatan politik di Indonesia.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang mampu berdiri di atas semua kepentingan, tanpa kehilangan integritas. PDIP, Joko Widodo, dan seluruh pemangku kepentingan politik perlu memprioritaskan harmoni nasional di atas perbedaan, demi masa depan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
