Langit Bontang menyuguhkan udara segar yang lembut membelai wajah kami. Saya (Aisyah), bersama Udex dan Sukri, bersiap memulai perjalanan panjang kembali ke Samarinda, meninggalkan kota industri yang kini penuh kesibukan.
Mobil Brio kami melaju tepat pukul 08.30 WITA, dengan hati yang sedikit berat, mengingat Alfi tidak ikut serta kali ini. Alfi, bersama Aminah, Ericka, dan Ira Nurajijah, dijadwalkan bertugas di Bontang selama tiga bulan, meninggalkan kami untuk merampungkan tugas liputan lainnya di Samarinda.
Perjalanan kali ini, Kamis (26/9/2024) berbeda. Suasana pagi yang segar, ditemani iringan lagu-lagu pop dangdut dari radio mobil, mengiringi langkah kami keluar dari Bontang.
Jalanan lengang, hanya dipadati oleh antrean panjang mobil, truk, dan tronton di pom bensin yang kami lewati. Pemandangan ini tampak ironis di tanah Kalimantan Timur, penghasil minyak negeri, di mana warganya masih harus berjuang dalam antrean panjang untuk membeli bensin. Pak Sukri, yang tengah memegang kemudi, hanya tersenyum kecil, menganggukkan kepala mengikuti alunan musik.
“Antrean selalu begini ya, Pak?” tanya Udex memecah kesunyian di mobil.
“Iya, sudah biasa. Tapi tetap saja, bikin miris kalau lihatnya,” jawab Sukri sambil menghela napas.
Setiap kali kami melewati proyek perbaikan jalan, laju mobil sedikit melambat. Tanda-tanda perjalanan panjang ini semakin nyata ketika kami melewati Koramil Teluk Pandan, sebuah titik penting yang menandakan bahwa kami telah memasuki wilayah Kabupaten Kutai Timur.
Lalu lintas yang relatif sepi membuat kami nyaman, dengan laju konstan 60-80 km/jam. Hanya satu truk besar yang bergerak pelan di depan kami, seolah menjadi satu-satunya teman dalam perjalanan.
Di tengah perjalanan, suara Thomas Arya mendayu dalam lagu “Satu Hati Sampai Mati” di radio. Lagu ini seperti meresonansi rasa tenang yang kami rasakan saat menyusuri jalanan panjang dan berliku. Pengendara motor tanpa helm yang kami lewati menambah suasana sepi yang perlahan menyelimuti kami.
“Ah, lagu ini cocok banget buat suasana jalanan sepi kayak gini,” gumam Udex, menyandarkan kepalanya di jendela mobil, menikmati suasana.
Tak lama kemudian, kami berhenti sebentar di Tugu Equator. Saya dan Udex turun untuk menikmati pemandangan Titik Nol Katulistiwa, sementara Pak Sukri memilih tetap di mobil, menikmati istirahat singkatnya.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan, melewati Masjid Abah Nanang, tempat kami sempat singgah saat perjalanan pergi beberapa hari lalu.
Namun, perjalanan tidak selamanya mulus. Matahari mulai terik, meski saya membuka sedikit kaca jendela untuk membiarkan udara segar masuk.
Jalanan yang mulai bergelombang dan penuh tikungan tajam membuat kami harus lebih waspada. Pak Sukri mengemudi dengan hati-hati, menghindari beberapa lubang yang tersebar di sepanjang jalan.
“Jalanan semakin rusak ya, padahal baru beberapa bulan lalu kayaknya belum separah ini,” kata Sukri sambil menghindari sebuah lubang besar di depan kami.
Di sisi lain jalan, kami melihat bus penumpang Gambut Barakat yang tampak kesulitan melewati antrean panjang truk di SPBU Desa Makarti. Pemandangan tersebut cukup sering terlihat di sepanjang jalanan Kalimantan Timur, terutama saat kendaraan-kendaraan besar mendominasi jalanan.
Di kiri dan kanan jalan, baliho kampanye mulai terlihat, menandakan tahun politik sudah dekat. Baliho Rudy Mas’ud dan Seno Aji dengan slogan “Gratispoll!” bersaing dengan baliho Isran Noor dan Hadi Mulyadi yang membawa jargon “Pahamlah Ikam?”
Selepas satu jam perjalanan, kami tiba di Desa Prangat, desa wisata yang terkenal dengan keindahannya. Kami berhenti sebentar di ATM BRI, namun sayangnya mesin ATM kosong.
“Mau ambil uang kok ya mesinnya habis,” keluh Sukri.
Kami pun melanjutkan perjalanan dan mampir di Warung #Eling untuk menyesap secangkir kopi hitam, favorit Sukri. Sementara itu, saya mengecek Google Maps, dan Samarinda masih berjarak sekitar 68 km lagi.
Pukul 10.40 WITA, gerbang kawasan Muara Badak terlihat. Ornamen Dayak yang menghiasi gerbang menambah keunikan perjalanan kami. Namun, cuaca mulai berubah. Langit yang semula cerah perlahan tertutup awan, dan tak lama kemudian hujan rintik mulai turun.
Jalanan yang basah membuat Pak Sukri semakin waspada. Udex, yang duduk di sampingnya, meminta untuk berhenti sejenak agar Sukri bisa beristirahat, menghindari bahaya microsleep yang mengintai.
“Jangan terlalu dipaksa, Pak. Sebentar lagi sampai, tapi lebih baik kita istirahat dulu,” ujar Udex dengan nada khawatir.
Sukri mengangguk setuju. Setelah beristirahat singkat di pinggir jalan, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan semangat yang lebih segar.
Samarinda semakin dekat. Perasaan lega mulai muncul saat kami melewati Aji Pangeran Tumenggung Pranoto Airport, tanda bahwa kami sudah memasuki batas kota Samarinda.
Tepat pukul 11.30 WITA, kami akhirnya tiba di Samarinda. Jalanan yang lebih ramai dan deretan bangunan tinggi menyambut kedatangan kami. Perjalanan yang panjang ini berakhir dengan selamat, memberikan kami banyak pengalaman berharga sepanjang perjalanan.
Di kota ini, tugas baru sudah menanti saya bersama tim liputan lainnya—Intan, Adi, dan Adit.
Samarinda mungkin bukan akhir dari perjalanan ini, tetapi ini adalah persinggahan penting bagi kami.
Seiring langkah kami yang terus berlanjut, satu hal yang pasti: perjalanan panjang di Kalimantan Timur ini meninggalkan kesan mendalam, mengingatkan kami akan indahnya alam dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat di sepanjang jalanan yang kami tempuh.
“Alhamdulillah, sampai juga,” ujar Pak Sukri sambil tersenyum puas, menutup perjalanannya dengan rasa syukur.