Hari Pers Nasional 2025 bukan sekadar perayaan seremonial, melainkan sebuah momen refleksi yang menyakitkan tentang kondisi kebebasan pers di Indonesia.
Penurunan Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia dari 77,88 pada 2022 menjadi 69,36 pada 2024 bukan sekadar angka di atas kertas. Itu adalah cermin buram yang menampilkan bagaimana kebebasan berekspresi, yang seharusnya menjadi pilar demokrasi, perlahan dikikis oleh regulasi yang menjerat, kekerasan yang dibiarkan, dan ekosistem media yang rapuh.
Bukannya melindungi kebebasan pers, sejumlah regulasi justru menjadi alat efektif untuk membungkam suara-suara kritis.
Revisi Undang-Undang Penyiaran, pengesahan KUHP baru, dan pasal-pasal karet dalam UU ITE adalah contoh nyata bagaimana hukum bisa digunakan sebagai alat represi.
Di balik alasan “menjaga ketertiban” atau “melindungi dari disinformasi,” terdapat upaya sistematis untuk mengendalikan narasi publik.
Pasal-pasal multitafsir ini menciptakan iklim ketakutan di ruang redaksi, membuat jurnalis ragu untuk mengekspos kebenaran yang tidak nyaman bagi mereka yang berkuasa.
Upaya yang diklaim sebagai “penertiban media” justru memperkeruh keadaan.
Daripada meningkatkan profesionalisme jurnalisme, penertiban ini sering digunakan sebagai kedok untuk mengontrol pemberitaan.
Media yang kritis mudah dicap sebagai tidak terverifikasi, bahkan dituding sebagai penyebar hoaks.
Sementara itu, media yang tunduk pada kepentingan politik tertentu justru dilindungi dan diberi ruang luas untuk membangun narasi yang menguntungkan elite penguasa.
Verifikasi Dewan Pers yang seharusnya menjadi instrumen menjaga standar etika jurnalisme malah kerap disalahgunakan sebagai alat politik.
Proses yang seharusnya objektif sering kali bias, menguntungkan kelompok yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.
Lebih parah lagi, banyak media yang sudah terverifikasi Dewan Pers justru kehilangan keberaniannya untuk bersikap kritis.
Mereka bertransformasi menjadi corong humas pemerintah dan korporasi, melupakan peran utamanya sebagai pengawas kekuasaan (watchdog).
Liputan mereka dipenuhi dengan pernyataan resmi, konferensi pers yang dikutip mentah-mentah, dan narasi yang mengedepankan citra, bukan fakta.
Berita kemanusiaan yang menyuarakan penderitaan di akar rumput sering kali tenggelam di balik headline yang penuh glorifikasi pejabat atau program pemerintah.
Bukan menjadi suara bagi yang tak bersuara, media justru menjadi alat untuk menjaga kenyamanan para penguasa.
Dalam ekosistem yang demikian, kritik dianggap ancaman.
Media menjadi alergi terhadap isu-isu yang menyinggung elite politik atau kepentingan bisnis besar.
Ruang redaksi dikendalikan oleh agenda yang didikte dari luar, mengorbankan independensi jurnalis yang seharusnya menjadi pilar utama dalam menjaga objektivitas.
Di banyak kasus, bukan hanya kebebasan jurnalis yang dirampas, tetapi juga hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang.
Tekanan terhadap kebebasan pers tidak hanya hadir dalam bentuk regulasi yang represif.
Kekerasan fisik dan digital terhadap jurnalis terus meningkat.
Serangan terhadap pewarta yang meliput unjuk rasa, intimidasi di ruang digital, hingga praktik doxing menjadi risiko yang tak terelakkan.
Ironisnya, banyak dari pelaku kekerasan ini justru berasal dari aparat yang seharusnya melindungi kebebasan sipil.
Impunitas terhadap pelaku kekerasan semakin memperparah luka kebebasan pers di Indonesia.
Tak berhenti di sana, hubungan gelap antara politisi, pemilik media, dan oknum di lembaga pengawas semakin memperkeruh ekosistem media.
Kolusi ini mengkhianati esensi jurnalisme sebagai pilar keempat demokrasi.
Publik dibiarkan tenggelam dalam banjir informasi yang dikendalikan oleh segelintir orang, di mana kebenaran dikaburkan demi kepentingan politik dan ekonomi.
Berita yang dikonsumsi masyarakat bukan lagi cerminan realitas, melainkan konstruksi narasi yang penuh manipulasi.
Di tengah tekanan politik dan hukum, media juga menghadapi krisis ekonomi yang memperparah situasi.
Ketergantungan pada iklan pemerintah membuat sebagian media kehilangan independensinya.
Ruang redaksi yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam menjaga integritas jurnalistik perlahan tergerus menjadi corong kepentingan politik dan bisnis.
Jurnalis dihadapkan pada dilema antara mempertahankan integritas atau bertahan hidup di industri yang semakin tidak ramah terhadap kebebasan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, asosiasi perusahaan media yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membela kebebasan pers justru memperburuk keadaan.
Bukan berdiri sebagai benteng kritis terhadap pemerintah, mereka justru memilih bermitra dengan kekuasaan, menjalin hubungan yang saling menguntungkan demi kepentingan politik dan bisnis.
Bahkan, tidak jarang asosiasi ini mengantarkan pucuk pimpinannya ke gerbang jabatan publik, membuka jalan bagi kepentingan politik masuk ke jantung industri media.
Akibatnya, media kehilangan fungsi kontrolnya terhadap kekuasaan.
Kebebasan pers dikorbankan demi kenyamanan elite, sementara jurnalis yang mencoba bersikap kritis sering kali dibiarkan berjuang sendirian tanpa dukungan lembaga atau asosiasi yang seharusnya melindungi mereka.
Namun, semua belum terlambat.
Sejarah menunjukkan bahwa jurnalisme selalu menemukan caranya untuk bertahan, bahkan di bawah tekanan paling keras sekalipun.
Solidaritas antarjurnalis, dukungan dari organisasi advokasi kebebasan pers, dan kesadaran publik menjadi kunci untuk melawan arus pembungkaman.
Teknologi digital, meski menghadirkan tantangan baru seperti disinformasi dan surveillance, juga membuka ruang alternatif bagi suara-suara yang dibungkam.
Hari Pers Nasional 2025 harus menjadi momen perlawanan, bukan sekadar peringatan.
Kebebasan pers bukan hadiah yang diberikan oleh penguasa; ia adalah hak yang harus diperjuangkan setiap hari.
Verifikasi Dewan Pers harus dikembalikan pada esensinya sebagai penjaga standar etika dan profesionalisme, bukan alat untuk mengontrol.
Penertiban media harus bermakna sebagai upaya meningkatkan kualitas jurnalisme, bukan simbolisme untuk membungkam kritik.
Kolusi antara politisi, pemilik media, dan asosiasi perusahaan media harus dibongkar, karena publik berhak mendapatkan kebenaran, bukan kebohongan yang dikemas rapi.
Tanpa pers yang bebas, demokrasi hanyalah ilusi.
Tanpa jurnalis yang berani, suara rakyat akan tenggelam dalam senyapnya tirani.
Hari Pers Nasional ini bukan hanya tentang merayakan capaian, tetapi tentang mengingatkan: kebebasan pers adalah nadi demokrasi. Ketika pers dibungkam, demokrasi perlahan kehilangan jiwanya.