Jakarta – Tahun 2025 membuka lembaran baru yang suram bagi dunia ketenagakerjaan Indonesia. Pemerintah mencatat peningkatan signifikan dalam kasus pemutusan hubungan kerja (PHK), dengan total korban mencapai 24.036 orang hingga 23 April 2025—naik 30,82% dibanding tahun lalu.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyampaikan bahwa angka PHK kembali naik sejak tahun 2023 setelah sebelumnya sempat menurun usai pandemi.
Dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Senin (5/5/2025), ia menyebut ada 25 penyebab PHK yang teridentifikasi, dengan tujuh faktor utama yang paling dominan.
“Hasil data kami menunjukkan ada 25 penyebab diambilnya langkah PHK pada tahun ini, namun ada tujuh alasan yang mendominasi,” ujarnya di Senayan.
Ketujuh alasan itu meliputi penutupan perusahaan, relokasi usaha, perselisihan hubungan industrial, tindakan balasan atas mogok kerja, efisiensi operasional, transformasi bisnis, dan kondisi pailit.
Tiga provinsi tercatat menyumbang hampir 80% dari jumlah korban PHK, yaitu Jawa Tengah (10.692 orang), DKI Jakarta (4.649 orang), dan Riau (3.546 orang).
Sementara itu, sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta jasa menjadi ladang terbesar pemecatan.
Yassierli menambahkan, subsektor manufaktur seperti tekstil, kayu non-furnitur, dan kendaraan bermotor tengah berada dalam tekanan tinggi dan berpotensi melanjutkan gelombang PHK.
Di sisi lain, subsektor makanan, minuman, farmasi, elektronik, dan reparasi diprediksi tumbuh dan mampu menyerap tenaga kerja lebih baik.
Tren PHK ini kembali menyoroti urgensi reformasi ketenagakerjaan serta perbaikan ekosistem industri nasional.
Pemerintah pun membuka opsi membentuk satuan tugas khusus (Satgas PHK) guna menanggulangi gelombang pemutusan hubungan kerja yang semakin luas dan mencegah dampak sosial-ekonomi yang lebih dalam.