Presiden Prabowo Subianto membuat pernyataan yang mengejutkan banyak pihak. Dalam komentarnya tentang penyitaan aset koruptor, ia mengatakan bahwa penyitaan itu memang pantas dilakukan untuk mengembalikan kerugian negara.
Namun ia juga menambahkan, “kita harus adil kepada anak dan istrinya.” Sepintas, kalimat ini terdengar manusiawi. Tetapi jika ditelusuri lebih dalam, justru menunjukkan arah keberpihakan yang salah dan merusak semangat pemberantasan korupsi.
Kata-kata pemimpin negara adalah kebijakan yang sedang menunggu waktu untuk dijalankan. Ketika seorang presiden menyampaikan empati kepada keluarga koruptor—bukan kepada rakyat yang menjadi korban utama dari praktik kejahatan tersebut—maka hal itu bukan lagi sekadar retorika.
Ia bisa menjadi justifikasi kebijakan di masa depan yang mempermudah pelaku kejahatan kerah putih lolos dari hukuman sosial.
Pernyataan ini datang di tengah suasana publik yang frustrasi dengan ketimpangan perlakuan hukum. Rakyat menyaksikan dengan mata kepala sendiri: seorang pengusaha kecil bisa dijebloskan ke penjara karena tidak setor pajak beberapa juta rupiah.
Di sisi lain, koruptor yang merampok ratusan miliar justru masih bisa menikmati fasilitas rumah mewah, perlindungan hukum, bahkan dukungan moral dari para elit.
Kini, dengan narasi empati terhadap keluarganya, makin kaburlah batas antara pelaku dan korban dalam sistem hukum kita.
Pertanyaannya: sejak kapan negara ini lebih peduli kepada kenyamanan keluarga pencuri uang negara ketimbang pada penderitaan jutaan rakyat yang menjadi korban ketidakadilan struktural akibat korupsi?
Anak-anak yatim yang tidak mendapat layanan kesehatan layak. Janda miskin yang ditolak rumah sakit karena tak mampu bayar. Petani yang gagal panen karena tak ada irigasi. Siswa miskin yang putus sekolah karena ketiadaan beasiswa.
Semua ini adalah dampak dari sistem yang rusak karena korupsi.
Jangan salah, hukum tidak pernah menyalahkan anak atau istri koruptor hanya karena mereka adalah keluarga.Tapi jika mereka turut menikmati, menyimpan, bahkan membela kekayaan haram tersebut, maka mereka bukan hanya keluarga, tapi bagian dari sistem kejahatan itu sendiri.
Perempuan yang menjadi istri dari pejabat korup, lalu membeli tas ratusan juta rupiah dari rekening yang tidak jelas asalnya, tidak bisa semata-mata dianggap korban.
Begitu pula anak yang bisa sekolah di luar negeri karena kiriman dana dari harta korupsi ayahnya. Ia tidak bisa disamakan dengan anak tukang becak yang harus putus sekolah karena tidak ada biaya.
Lebih jauh lagi, sikap lunak terhadap pelaku dan keluarga koruptor tidak hanya mencederai rasa keadilan. Tapi juga membahayakan tatanan etika publik.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak masa depan bangsa. Ia bukan hanya pencurian dana. Tetapi perusakan sistem, pencemaran moral, dan pengkhianatan terhadap mandat rakyat.
Ketika para elit mulai merelatifkan dampaknya dengan dalih “kasihan anak dan istrinya,” maka kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dibela?
Kemarahan publik di media sosial pun tak terbendung. Warga menumpahkan kekecewaan dan sinisme terhadap ucapan Prabowo.
Komentar seperti “lebih kasihan rakyat yang bayar pajak daripada anak koruptor” muncul berulang kali.
Yang lebih menyakitkan, sebagian warga merasa bahwa negara kini justru melunak kepada koruptor. Sementara semakin keras terhadap rakyat kecil.
Seperti kata salah satu netizen: “Motor bisa disita karena pajak, tapi anak koruptor dilindungi.”
Di masa kampanye, Prabowo pernah berjanji akan memberantas korupsi sampai ke ujung dunia.
Tapi kini, setelah berada di kursi kuasa, narasinya melunak. Ia ingin memberi kesempatan koruptor “mengembalikan uangnya,” seolah negara ini sedang membuka diskon dan pengampunan untuk pelaku kejahatan besar.
Bahkan jika niatnya baik—yakni mendorong pengembalian kerugian negara—kenapa harus dibungkus dengan empati berlebih kepada keluarga koruptor?
Jangan lupa, kita pernah menyaksikan preseden buruk ketika para koruptor dipulangkan dari luar negeri hanya untuk dikembalikan dengan hukuman ringan.
Atau dibebaskan karena alasan kesehatan.
Ketika empati digunakan sebagai alasan untuk melemahkan ketegasan hukum, maka seluruh pondasi pemberantasan korupsi bisa runtuh.
Apa bedanya kita dengan negara-negara gagal yang menjadikan hukum sebagai alat melindungi elit?
Narasi ini juga mencerminkan kesinambungan dari gaya kepemimpinan era Jokowi: menampilkan empati selektif, pencitraan emosional, namun melupakan keadilan struktural.
Kita tahu, selama 10 tahun terakhir, pemberantasan korupsi terus dilemahkan—mulai dari revisi UU KPK, kriminalisasi aktivis antikorupsi, hingga pelemahan institusi penegak hukum.
Kini, alih-alih memperbaiki semua itu, Prabowo malah mewarisi taktik lunak terhadap pelaku korupsi. Ia mengulang strategi lama: mengemas kelemahan sebagai welas asih.Tentu saja kita menolak pendekatan semacam itu.
Negara tidak boleh bersikap lunak terhadap koruptor dan keluarganya. Negara harus tegas menegakkan keadilan.
Itu termasuk menyita seluruh hasil kejahatan, bahkan jika dinikmati oleh istri atau anak sekalipun.
Keadilan tidak mengenal belas kasihan terhadap pelaku kejahatan besar.
Jika Prabowo ingin meninggalkan warisan yang baik sebagai presiden, maka ia harus memulihkan kepercayaan rakyat terhadap sistem hukum.
Caranya bukan dengan menunjukkan empati terhadap keluarga koruptor. Tetapi dengan memastikan bahwa hukum ditegakkan seadil-adilnya, setegas-tegasnya, dan setransparan-transparannya.
Dan jika ia tidak mampu mewujudkan itu, maka sejarah akan mencatatnya bukan sebagai pemimpin yang membawa perubahan.
Melainkan sebagai penguasa yang melanjutkan pelanggengan kekuasaan dengan melindungi koruptor atas nama keadilan semu.