Gelombang demonstrasi 25–31 Agustus 2025 seharusnya menjadi momentum rakyat menyuarakan kekecewaan pada elite politik, terutama soal gaji dan tunjangan DPR yang dinilai tidak pantas di tengah kesulitan ekonomi. Namun, fakta lapangan menunjukkan anomali yang sulit diabaikan. Api yang membakar halte TransJakarta, gerbang tol, hingga fasilitas MRT tidak relevan dengan isu awal yang memicu demonstrasi. Kerusakan itu justru merugikan publik luas, bukan menyentuh sasaran politik yang diprotes.
Kejanggalan semakin jelas ketika melihat pola perusakan. Dalam satu malam, tujuh gerbang tol terbakar di lokasi berjauhan, sementara tujuh halte TransJakarta juga hangus. Penyebaran lokasi yang luas dalam waktu singkat mengindikasikan adanya koordinasi yang melampaui arus massa damai. Sulit membayangkan kerusakan itu terjadi spontan, apalagi tanpa kendali komando.
Polda Metro menegaskan bahwa kerusuhan dipicu kelompok tanpa struktur dan tanpa koordinator lapangan. Hal ini berbeda dengan rombongan buruh atau mahasiswa yang datang dengan rute jelas dan tuntutan spesifik. Perbedaan ini penting: aksi damai punya narasi, sedangkan kerusuhan justru nihil arah. Maka muncul pertanyaan besar: siapa yang sengaja memantik api di pinggir arus massa?
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh menegaskan bahwa aksi mereka anti-kekerasan. Mereka menolak outsourcing, menuntut upah layak, dan membawa agenda jelas. Fakta bahwa perusakan terjadi di luar garis besar tuntutan buruh semakin memperkuat dugaan bahwa demonstrasi telah ditunggangi oleh provokator. Aspirasi buruh dan mahasiswa yang sah justru dirusak oleh tangan-tangan gelap.
Gelombang hoaks semakin memperkeruh suasana. Video palsu yang mengklaim Presiden Prabowo menemui massa pada 25 Agustus terbukti salah. Ada pula rekaman yang disunting untuk membangun narasi tertentu. Disinformasi semacam ini bukan sekadar kesalahan informasi, tetapi bagian dari strategi memanas-manasi situasi. Ketika fakta kabur, publik mudah terprovokasi, dan aparat pun semakin disudutkan.
Yang lebih aneh lagi adalah taktik yang digunakan sebagian massa. Pada 25 Agustus, mereka melempar kembang api ke arah polisi—bukan cara lazim dalam demonstrasi damai. Atribut bendera fiksi seperti “One Piece” pun muncul sebagai simbol yang tidak ada kaitannya dengan isu perburuhan. Penggunaan flare dan kembang api menandai eskalasi terencana: memancing aparat merespons dengan gas air mata, lalu memelintirnya menjadi narasi represif.
Kerusuhan juga cenderung meletup setelah jam aksi utama berakhir. Laporan media mencatat bahwa menjelang malam—saat massa damai pulang—justru pembakaran dan perusakan meluas. Ini semakin memperlihatkan adanya “shift malam” dari kelompok perusuh. Mereka bergerak ketika arus utama bubar, meninggalkan panggung kosong untuk diisi kekacauan.
Pola serupa muncul di daerah. Di Lumajang, polisi menangkap empat terduga provokator yang menyusup dalam aksi damai. Pola ini berulang: penyusup memicu ricuh, lalu masyarakat luas yang menanggung stigma. Replikasi pola di berbagai kota menguatkan dugaan adanya desain sistematis, bukan sekadar kebetulan.
Efek publik yang ditimbulkan pun terasa nyata. Setelah tujuh halte dan sejumlah akses MRT rusak, layanan transportasi dihentikan sementara. Warga yang bergantung pada transportasi massal terpaksa mencari alternatif mahal. Akibatnya, amarah publik tidak lagi tertuju pada DPR, tetapi pada “demonstrasi” itu sendiri. Inilah pola klasik: merusak legitimasi gerakan dengan mengarahkan kerusakan pada fasilitas umum.
Jika dilihat dari sudut politik, inkoherensi tujuan–target adalah bukti kuat adanya provokator. Tuntutan soal gaji DPR logisnya diarahkan ke parlemen, bukan ke infrastruktur transportasi. Dengan menghantam fasilitas publik, demonstran tampak “anti-rakyat” di mata masyarakat luas. Delegitimasi gerakan pun tercapai.
Dari sisi hukum, keberadaan kelompok “tanpa korlap” menjadi masalah besar. Demonstrasi damai dijamin konstitusi, tetapi kerusuhan oleh penyusup adalah tindak pidana. Aparat harus mampu memisahkan keduanya agar aspirasi tidak terkubur oleh tindakan kriminal. Penegakan hukum yang transparan dan berbasis bukti sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik.
Secara sosial, provokasi ini berisiko memecah solidaritas. Buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil yang ingin menyampaikan aspirasi bisa dicap sebagai perusuh hanya karena aksi mereka ditunggangi. Akibatnya, ruang demokrasi terancam mengecil karena publik takut distigma setiap kali turun ke jalan.
Ekonomi pun tidak lepas dari dampak. Kerusakan halte, tol, dan MRT berarti biaya perbaikan besar yang diambil dari anggaran negara—yang sejatinya milik rakyat. Investor juga melihat gejolak ini sebagai tanda instabilitas politik, yang bisa melemahkan kepercayaan pada pasar domestik. Provokasi tidak hanya merusak legitimasi gerakan, tetapi juga stabilitas ekonomi.
Apa yang harus dilakukan pemerintah? Pertama, audit menyeluruh atas kejadian di lapangan: dari CCTV, kronologi pembakaran, hingga rantai logistik flare dan kembang api. Transparansi investigasi sangat penting agar publik percaya. Kedua, aparat harus berhati-hati: melindungi aksi damai, sekaligus tegas terhadap provokator. Perbedaan keduanya harus dikomunikasikan jelas kepada publik.
Ketiga, pemerintah harus memperbaiki komunikasi politik. Jika isu awal adalah gaji DPR, maka itu perlu direspons dengan narasi kebijakan yang tegas. Diam hanya memperbesar ruang bagi provokator mengisi kekosongan. Keempat, masyarakat sipil dan media harus melawan banjir hoaks dengan verifikasi cepat agar publik tidak terseret arus disinformasi.
Akhirnya, gelombang demo ini memperlihatkan betapa rapuhnya ruang demokrasi kita. Aspirasi sah mudah dibajak, dan legitimasi gerakan bisa hancur dalam semalam. Negara harus berani mengungkap siapa yang menunggangi, agar rakyat tidak terus menjadi korban framing dan kekerasan.
Jika penyusup dibiarkan, maka setiap gerakan rakyat akan selalu dicurigai sebagai kerusuhan. Demokrasi akan mati pelan-pelan, bukan karena rakyat berhenti bersuara, tetapi karena suara mereka selalu dipelintir. Inilah bahaya provokator yang tidak boleh dibiarkan.