Pengguna internet sempat dibuat geger setelah melihat di Google bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di kisaran Rp8.100 beberapa waktu lalu. Banyak yang terkejut, sebagian mengira ini adalah kejutan ekonomi, sementara yang lain langsung curiga ada kesalahan sistem. Tak lama setelah itu, Google mengoreksi dan menghentikan sementara fitur pencarian nilai mata uang untuk rupiah.
Namun, kejadian ini mengundang pertanyaan yang lebih besar. Seandainya nilai tukar rupiah benar-benar menguat ke angka tersebut, apakah itu akan menjadi kabar baik bagi Indonesia? Atau justru menimbulkan dampak yang lebih banyak merugikan daripada menguntungkan?
Penguatan rupiah yang ekstrem akan membawa dampak besar bagi berbagai sektor ekonomi. Bagi konsumen, ini bisa menjadi kabar baik karena harga barang impor akan turun. Produk elektronik, kendaraan, hingga bahan baku industri yang bergantung pada impor akan menjadi lebih murah. Ini juga bisa membantu mengendalikan inflasi dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Bagi pemerintah dan perusahaan yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk dolar, situasi ini juga menguntungkan. Jika sebelumnya utang senilai US$10 miliar setara dengan Rp150 triliun, kini hanya bernilai Rp81 triliun. Anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk membayar utang bisa dialihkan ke sektor lain seperti infrastruktur dan pendidikan.
Namun, tidak semua pihak akan diuntungkan. Industri berbasis ekspor akan menjadi sektor yang paling terpukul. Produk-produk Indonesia akan menjadi jauh lebih mahal di pasar global, sehingga daya saing menurun. Ketika pembeli internasional mencari harga yang lebih murah, mereka bisa beralih ke negara lain dengan nilai tukar yang lebih lemah.
Dampak berikutnya adalah ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Jika ekspor melemah, perusahaan manufaktur akan mengurangi produksi. Akibatnya, ribuan hingga ratusan ribu pekerja di industri tekstil, otomotif, perkebunan, dan pertambangan bisa kehilangan pekerjaan. Ini dapat menciptakan gelombang pengangguran baru yang berisiko mengguncang stabilitas sosial dan ekonomi.
Penerimaan negara juga akan terkena imbasnya. Pendapatan dari ekspor sumber daya alam seperti minyak, gas, batu bara, dan kelapa sawit bisa menurun karena harga dalam rupiah menjadi lebih rendah. Jika pendapatan dari sektor ini menyusut, APBN bisa mengalami tekanan dan memengaruhi program-program pembangunan nasional.
Investor asing juga mungkin berpikir ulang untuk menanam modal di Indonesia. Bagi mereka, kurs rupiah yang terlalu kuat bisa membuat biaya produksi di Indonesia menjadi lebih mahal dibandingkan negara lain. Ini bisa membuat mereka memindahkan investasinya ke negara dengan nilai tukar yang lebih lemah dan lebih kompetitif.
Secara teori, nilai tukar rupiah yang lebih kuat memang memberikan keuntungan dalam beberapa aspek. Namun, jika penguatan ini terjadi secara tiba-tiba dan tanpa didukung oleh fundamental ekonomi yang stabil, dampaknya bisa lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.
Jika rupiah menguat karena peningkatan produktivitas nasional, inovasi industri, dan surplus perdagangan yang berkelanjutan, maka itu adalah perkembangan positif. Namun, jika penguatan terjadi karena faktor eksternal atau intervensi sementara, maka ekonomi bisa mengalami ketidakseimbangan yang berisiko besar.
Dalam dunia ekonomi, stabilitas lebih penting daripada sekadar angka nominal. Nilai tukar yang terlalu kuat bisa menghambat pertumbuhan, sementara nilai tukar yang terlalu lemah bisa merusak daya beli. Oleh karena itu, keseimbangan adalah kunci.
Peristiwa error di Google mungkin hanya kesalahan teknis, tetapi dampaknya mengingatkan kita bahwa perubahan besar dalam ekonomi tidak bisa dianggap remeh. Karena dalam ekonomi, tidak ada angka yang berdiri sendiri—selalu ada konsekuensi di baliknya.