Lini seismik kembali bergerak di dasar Samudra Pasifik utara. Pada 30 Juli 2025, gempa bumi berkekuatan M 8.8 mengguncang lepas pantai Semenanjung Kamchatka, Rusia. Gempa ini memicu gelombang tsunami setinggi 3 hingga 5 meter yang menghantam kawasan pesisir, khususnya kota Severo‑Kurilsk di Kepulauan Kuril.
Meski berdampak nyata, peristiwa ini tidak menimbulkan korban jiwa. Suatu capaian besar jika dibandingkan dengan tsunami mematikan tahun 1952 yang menewaskan lebih dari dua ribu orang di lokasi yang sama.
Tsunami kali ini memang mencolok, namun bukan peristiwa luar biasa. Wilayah Kamchatka dan Kepulauan Kuril sudah lama dikenal sebagai zona subduksi aktif. Sejak awal abad ke-20, kawasan ini telah berulang kali diguncang gempa besar yang memicu tsunami.
Catatan sejarah mencatat sejumlah peristiwa besar: tsunami tahun 1923 yang mencapai 30 meter karena longsor bawah laut; gelombang tahun 1958 dan 1963 yang menjalar hingga Jepang dan Samudra Pasifik utara; serta peristiwa tahun 2006 dengan gelombang 21 meter di Matua, meski berdampak kecil di wilayah lain.
Namun yang membedakan kejadian tahun 2025 bukan kekuatannya, melainkan dampaknya. Tsunami kali ini relatif terkendali. Korban jiwa nihil, dan kerusakan terbatas pada fasilitas pelabuhan dan perikanan.
Beberapa laporan mencatat bahwa di titik-titik tertentu gelombang mencapai 10 hingga 15 meter. Tapi secara umum, ketinggian tsunami tetap dalam kisaran moderat berkat kondisi geologi lokal dan kedalaman pusat gempa.
Lebih penting lagi, sistem peringatan dini yang aktif dan respons cepat dari otoritas Rusia menjadi faktor kunci. Sirene, sistem notifikasi, hingga evakuasi terkoordinasi di Severo‑Kurilsk membuktikan bahwa kesiapsiagaan publik sangat menentukan.
Kemajuan teknologi dan kesadaran masyarakat jelas berperan besar. Rusia kini telah mengembangkan pemantauan seismik berbasis satelit, pelampung laut dengan sensor tekanan, serta jaringan komunikasi darurat yang menjangkau pemukiman terpencil.
Namun semua pencapaian itu bukan alasan untuk merasa aman. Kawasan Kamchatka tetap berada di atas lempeng aktif. Potensi gempa besar akan selalu ada. Tantangannya kini adalah menjaga agar kesiapsiagaan itu tidak menurun seiring berlalunya waktu.
Bencana ini juga menjadi pengingat bahwa tsunami tidak mengenal batas negara. Gelombang dari gempa di Kamchatka tercatat hingga Jepang, Hawaii, Pantai Barat AS, bahkan sampai Pulau Paskah dan Galápagos.
Artinya, setiap bencana besar di kawasan Pasifik berpotensi menjadi krisis lintas negara. Maka kerja sama regional sangat dibutuhkan, baik dalam hal sistem peringatan terpadu, pertukaran data, maupun skenario evakuasi bersama.
Organisasi seperti Pacific Tsunami Warning Center (PTWC) dan UN Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) perlu diperkuat, tidak hanya secara teknis, tetapi juga secara politik. Dukungan lintas negara penting agar mitigasi menjadi upaya kolektif, bukan beban nasional semata.
Dari sisi sosial, edukasi menjadi aspek yang sangat krusial. Pada 1952, banyak warga Severo‑Kurilsk tidak memahami tanda-tanda alam sebelum tsunami. Kini, anak-anak sekolah di kota yang sama dilatih evakuasi secara berkala.
Simulasi rutin dan kurikulum kebencanaan di sekolah adalah investasi penting. Semakin paham masyarakat terhadap risiko, semakin tinggi pula peluang untuk selamat saat bencana datang.
Namun, tak semua negara memiliki kapasitas serupa. Ketimpangan kesiapsiagaan masih nyata. Negara-negara Pasifik Selatan atau Asia Tenggara yang juga berada di kawasan rawan tsunami, seringkali kekurangan infrastruktur mitigasi yang memadai.
Karena itu, dukungan internasional harus diperluas. Transfer teknologi, pelatihan kebencanaan, hingga skema pendanaan bersama adalah keharusan. Risiko geologis tidak boleh dibiarkan menjadi nasib yang tidak setara.
Aspek ekonomi pun tidak bisa diabaikan. Kerusakan pelabuhan dan fasilitas perikanan di Severo‑Kurilsk akan berdampak pada mata pencaharian masyarakat setempat. Maka perlu ada sistem tanggap ekonomi yang cepat, termasuk asuransi bencana yang efisien.
Negara perlu merancang skema perlindungan sosial pascabencana yang tidak hanya bersifat sementara. Termasuk di dalamnya pembiayaan pemulihan, kredit lunak bagi usaha kecil, dan pemulihan infrastruktur vital secara cepat.
Tata ruang juga harus dievaluasi ulang. Kawasan padat penduduk tidak seharusnya berdiri begitu dekat dengan garis pantai rawan. Perencanaan kota berbasis risiko adalah keharusan dalam menghadapi era krisis iklim dan geologi.
Jika kita belajar dari pola historis, gempa besar di kawasan Kamchatka–Kuril memang tidak datang setiap tahun, namun ia pasti datang kembali. Yang menjadi soal bukan “jika”, melainkan “kapan”.
Oleh karena itu, kebijakan publik harus didesain dengan perspektif jangka panjang. Tidak cukup hanya membangun sirene atau menara evakuasi. Harus ada budaya sadar risiko di semua tingkatan masyarakat.
Salah satu pelajaran terpenting dari tsunami 2025 adalah pentingnya kepercayaan antara publik dan pemerintah. Sistem peringatan tidak akan efektif bila warga ragu untuk percaya. Maka transparansi informasi dan komunikasi yang jujur adalah kunci.
Pemerintah tidak boleh menutup-nutupi risiko demi menjaga citra. Setiap detik penundaan informasi saat bencana bisa berarti nyawa yang hilang.
Jika tsunami 1952 menjadi cermin kelengahan masa lalu, maka peristiwa 2025 menunjukkan bahwa ilmu, kebijakan, dan kesadaran publik dapat menyelamatkan. Tapi perjuangan belum selesai.
Bencana berikutnya hanya menunggu waktu. Pilihannya sederhana: kita menyambutnya dengan kesiapan, atau mengulang tragedi karena kelalaian.