Ledakan penggunaan layanan Paylater menjadi fenomena baru dalam lanskap keuangan digital Indonesia. Data per November 2024 menunjukkan bahwa utang Paylater masyarakat telah menembus angka Rp30,36 triliun, menjadikannya sinyal serius bagi industri keuangan, khususnya terkait manajemen konsumsi dan edukasi literasi finansial.
Pertumbuhan ini dipicu oleh kemudahan dalam mengakses layanan beli sekarang bayar nanti (BNPL) yang ditawarkan oleh berbagai platform perbankan dan multifinance. Dengan 16,4 juta pengguna aktif dan 48,4 juta akun tercatat, Paylater semakin populer, terutama di kalangan usia produktif.
Namun, di balik tren tersebut, muncul kekhawatiran akan jebakan utang dan rendahnya kontrol konsumsi masyarakat.
Jabar Tertinggi, Perempuan Paling Dominan
Menurut Pefindo Biro Kredit, Provinsi Jawa Barat menyumbang 27,87 persen dari total pengguna Paylater, disusul Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta. Hal ini menandakan konsentrasi penggunaan Paylater terjadi di wilayah dengan aktivitas ekonomi tinggi dan populasi padat.
Lebih menarik lagi, 58,27 persen pengguna Paylater adalah perempuan, menunjukkan kecenderungan kelompok ini lebih aktif dalam transaksi konsumtif via platform digital.
Tren ini bukan hanya mencerminkan pola belanja modern, tetapi juga tantangan serius dalam literasi dan kontrol keuangan personal.
OJK Bertindak: Paylater Tak Bisa Sembarangan
Melihat tingginya potensi risiko, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera mengambil langkah pengendalian. Mulai 2025, syarat penggunaan Paylater diperketat. Calon pengguna minimal harus berusia 18 tahun atau sudah menikah, dan memiliki penghasilan minimal Rp3 juta per bulan.
Langkah ini bertujuan untuk:
- Mencegah jebakan utang yang bisa menimpa kalangan muda.
- Melindungi konsumen dari akses keuangan yang tidak sesuai kapasitas.
- Menjaga keberlangsungan industri pembiayaan dari risiko gagal bayar.
Dengan pendekatan ini, OJK berharap penggunaan layanan Paylater lebih selektif dan bertanggung jawab.
Saatnya Literasi Keuangan Masuk Gigi Tiga
Masalah utama bukan pada layanan Paylater-nya, melainkan pada pemahaman pengguna terhadap konsekuensi finansial jangka panjang. Paylater memang memudahkan transaksi, tetapi tanpa edukasi keuangan, pengguna bisa tergelincir ke utang konsumtif yang membengkak.
Untuk itu, penguatan literasi keuangan digital menjadi urgensi nasional. Edukasi tentang bunga tersembunyi, jatuh tempo, denda keterlambatan, serta pentingnya budgeting harus digalakkan, terutama di media sosial tempat mayoritas pengguna aktif.
Program-program seperti PeKA (Peduli, Kenali, Adukan) dari Bank Indonesia bisa dijadikan fondasi. Namun pendekatannya harus lebih membumi: melalui konten visual, video pendek, bahkan kolaborasi dengan influencer yang punya pengaruh di kalangan Gen Z dan milenial.
Paylater Bukan Uang Tambahan
Paylater seharusnya diposisikan sebagai alat bantu keuangan, bukan “uang tambahan”. Masyarakat perlu memahami bahwa setiap transaksi Paylater adalah komitmen utang yang harus dikembalikan.
Membangun pola pikir ini tidak bisa hanya melalui regulasi. Butuh keterlibatan sekolah, keluarga, dan komunitas. Edukasi dasar seperti:
- Menghitung cicilan dan bunga,
- Membedakan kebutuhan dan keinginan,
- Menyusun rencana keuangan bulanan,
harus masuk dalam kurikulum atau pelatihan kewirausahaan yang menyasar usia produktif.
Jalan Tengah: Inovasi Finansial dan Proteksi Konsumen
Kemajuan layanan keuangan digital tidak bisa dihentikan. Tapi, seperti pisau bermata dua, ia harus digunakan dengan kesadaran.
Pemerintah dan pelaku industri harus terus menghadirkan inovasi yang transparan dan edukatif, seperti dashboard utang yang mudah dipahami, sistem peringatan dini, hingga penilaian risiko yang terintegrasi.
Sementara itu, konsumen harus didorong menjadi pengguna yang aktif dan cerdas, bukan hanya sebagai target promosi.
Bijak Pakai, Bijak Bayar
Fenomena utang Paylater ini menjadi momentum untuk merevolusi cara masyarakat memandang konsumsi dan keuangan. Regulasi saja tidak cukup. Dibutuhkan gerakan bersama untuk membentuk generasi yang melek utang dan cakap mengatur keuangan.
Karena pada akhirnya, Paylater bukan musuh. Tapi jika disalahgunakan, bisa menjadi pintu masuk ke masalah keuangan yang panjang. Bijak pakai, bijak bayar, demi masa depan finansial yang lebih stabil.