Perjuangan pengusaha lokal dalam mempertahankan hak merek mereka dari gempuran perusahaan raksasa dunia terus menjadi sorotan. Baru-baru ini, TikTok Ltd harus menelan pil pahit setelah kalah dalam sengketa merek melawan Fenfiana Saputra, pengusaha pakaian asal Bandung. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan TikTok Ltd yang berusaha menghapus merek “Tik Tok” milik Fenfiana yang telah terdaftar sejak 2009 untuk produk pakaian.
Fenomena ini bukanlah kejadian yang pertama. Sejumlah perusahaan besar dunia juga pernah mengalami kekalahan dalam sengketa merek melawan pengusaha Indonesia. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pengusaha lokal memiliki hak yang kuat untuk mempertahankan merek dagang mereka meskipun harus berhadapan dengan perusahaan global dengan sumber daya besar.
Mahkamah Agung Indonesia sebelumnya pernah memenangkan PT Ratania Khatulistiwa, sebuah perusahaan pengrajin rotan asal Surabaya, dalam sengketa dengan IKEA. Perusahaan furnitur asal Swedia itu menggugat hak atas nama “IKEA,” namun kalah karena PT Ratania Khatulistiwa telah lebih dulu mendaftarkan nama tersebut untuk kategori barang rumah tangga di Indonesia. Keputusan ini menegaskan bahwa pendaftaran merek di Indonesia memiliki kekuatan hukum yang harus dihormati oleh semua pihak.
Pierre Cardin, perancang busana asal Prancis, juga mengalami hal serupa. Ia menggugat pengusaha lokal yang menggunakan nama “Pierre Cardin” untuk produk pakaian di Indonesia. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung, sehingga pengusaha lokal tetap berhak atas merek tersebut.
DC Comics, perusahaan penerbit komik terkenal, juga pernah kalah dalam sengketa dengan PT Marxing Fam Makmur. Perusahaan asal Indonesia ini menggunakan nama Superman dalam produk wafernya, yang kemudian dipermasalahkan oleh DC Comics. Meski awalnya DC Comics kalah dalam dua putusan, akhirnya mereka berhasil memenangkan kasus tersebut dalam gugatan berikutnya pada 2020.
Sementara itu, ExxonMobil, perusahaan minyak raksasa asal Amerika Serikat, harus menerima kenyataan bahwa mereka kalah dalam perebutan merek “TRICO” dari dua pengusaha asal Pluit, Jakarta Utara. Keputusan Mahkamah Agung pada 2023 memperkuat hak kedua pengusaha tersebut atas merek dagang yang mereka daftarkan lebih dulu.
Amazon juga mengalami kekalahan dalam sengketa merek dengan Andrew Tanuwijaya, seorang pengusaha dari Jakarta Utara. Andrew telah mendaftarkan merek “Amazon” untuk kelas produk elektronik seperti antena TV dan tape recorder. Meskipun Amazon menggugatnya ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 2021, gugatan tersebut ditolak, bahkan permohonan kasasi mereka juga ditolak oleh Mahkamah Agung pada 2023.
Fenomena ini menjadi pengingat bahwa merek dagang bukan sekadar nama, tetapi juga hak yang diakui secara hukum. Dalam dunia bisnis, pendaftaran merek menjadi langkah penting untuk melindungi usaha dari klaim perusahaan lain. Pengusaha lokal yang lebih dulu mendaftarkan merek memiliki hak eksklusif atas penggunaannya, terlepas dari seberapa besar atau berpengaruhnya pihak lain yang mencoba menggugatnya.
Keberhasilan pengusaha Indonesia dalam mempertahankan hak mereka dari perusahaan global mencerminkan pentingnya sistem hukum yang adil dan perlindungan terhadap usaha lokal. Hal ini juga menunjukkan bahwa dengan pemahaman yang baik tentang regulasi merek, pengusaha kecil dapat berdiri sejajar dengan korporasi besar.
Bagi para pelaku bisnis di Indonesia, pelajaran dari kasus ini adalah pentingnya segera mendaftarkan merek dagang sejak awal. Perlindungan merek bukan hanya untuk menghindari sengketa di masa depan, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan atas kerja keras dan inovasi yang telah dilakukan. Dengan memiliki hak merek yang kuat, bisnis lokal dapat berkembang lebih percaya diri tanpa takut kehilangan identitasnya.