Kegaduhan dalam pemerintahan bukanlah sesuatu yang baru. Namun, ketika serangkaian kebijakan kontroversial muncul berdekatan dengan isu-isu besar lainnya, wajar jika publik mulai mempertanyakan apakah ada motif tersembunyi di baliknya.
Dua isu besar yang belakangan ini ramai diperbincangkan—kelangkaan LPG 3 kg akibat kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan kontroversi “pagar laut” di Pantai Indah Kapuk (PIK) 2—muncul hampir bersamaan, menciptakan kesan seolah-olah ada upaya pengalihan perhatian.
Kelangkaan LPG 3 kg terjadi setelah pemerintah mengubah skema distribusi dengan menghapus pengecer dan mewajibkan pembelian di pangkalan resmi menggunakan KTP. Kebijakan ini diberlakukan pada awal Februari 2025, dengan dalih memastikan subsidi LPG tepat sasaran.
Namun, alih-alih memberikan solusi, kebijakan ini justru memicu antrean panjang, keresahan di masyarakat, bahkan tragedi. Di Pamulang, seorang lansia meninggal dunia saat mengantre untuk mendapatkan LPG, mencerminkan dampak nyata dari kebijakan yang tidak dipersiapkan dengan baik.
Dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kelas bawah yang mengandalkan LPG 3 kg untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga pelaku usaha kecil seperti pedagang makanan dan warung.
Dengan pasokan yang terganggu, harga LPG melonjak di tingkat pengecer ilegal, mencapai Rp35.000 hingga Rp40.000 per tabung, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Keadaan ini justru menciptakan pasar gelap yang merugikan rakyat kecil, bertentangan dengan tujuan awal kebijakan subsidi tepat sasaran.
Publik pun geram. Kritik mengalir deras dari berbagai kalangan, mulai dari asosiasi pedagang, akademisi, hingga anggota parlemen. Situasi semakin panas ketika Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan, membatalkan kebijakan tersebut dan mengembalikan distribusi LPG ke sistem lama.
Namun, yang mengejutkan adalah bagaimana Bahlil, yang awalnya bertanggung jawab atas kebijakan yang kacau ini, tiba-tiba tampil di depan publik seolah-olah sebagai pahlawan penyelamat.
Setelah ditegur langsung oleh Presiden Prabowo, Bahlil muncul dengan pernyataan bahwa ia telah mendengar keluhan rakyat dan berjanji akan memperbaiki sistem distribusi LPG agar lebih baik. Ia mengklaim bahwa perubahan kebijakan ini adalah bagian dari proses evaluasi yang wajar dalam pemerintahan.
Namun, publik tidak lupa bahwa kebijakan ini adalah hasil keputusannya sendiri—yang sejak awal tidak memiliki kesiapan matang.
Fenomena ini bukan pertama kali terjadi. Dalam politik, ada pola di mana pejabat publik menciptakan kegaduhan, membiarkan situasi memburuk, lalu datang sebagai penyelamat agar citranya tetap terjaga. Ini adalah strategi lama yang sering digunakan untuk membangun persepsi kepemimpinan yang responsif, meskipun faktanya masalah tersebut muncul akibat kebijakan mereka sendiri.
Bersamaan dengan polemik LPG, isu lain yang tak kalah serius mencuat: pembangunan pagar laut di PIK 2. Proyek ini menuai kritik karena dianggap melanggar aturan tata ruang, merusak ekosistem pesisir, serta membatasi akses nelayan dan masyarakat pesisir terhadap laut.
Sejumlah organisasi lingkungan telah memperingatkan dampak ekologis dari proyek reklamasi ini, termasuk meningkatnya abrasi di wilayah pesisir sekitar dan potensi hilangnya habitat biota laut.
Laporan investigasi menunjukkan bahwa beberapa pihak yang terlibat dalam proyek ini memiliki hubungan dekat dengan elit politik dan pengusaha besar.
Dugaan bahwa proyek itu mendapatkan perlakuan istimewa semakin menguat setelah respons pemerintah terkesan lamban dalam menangani keluhan masyarakat. Bahkan, hingga saat ini, belum ada tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, sementara masyarakat pesisir yang terdampak justru semakin terpinggirkan.
Berbagai pihak mencurigai bahwa kegaduhan akibat kebijakan LPG adalah strategi untuk mengalihkan perhatian publik dari kontroversi pagar laut. Dugaan ini semakin menguat ketika media dan perbincangan publik mulai bergeser, dari membahas dampak lingkungan dan sosial proyek PIK 2 ke antrean panjang masyarakat yang berebut LPG 3 kg. Apalagi, pola semacam ini bukan pertama kali terjadi. Dalam sejarah politik Indonesia, pengalihan isu kerap digunakan sebagai strategi untuk meredam gelombang kritik terhadap kebijakan kontroversial.
Jika benar ada upaya pengalihan isu, maka ini adalah bentuk manipulasi opini publik yang berbahaya. Pemerintah seharusnya fokus menyelesaikan masalah, bukan menciptakan kegaduhan baru untuk menutupi persoalan lama.
Kebijakan LPG yang tidak matang dan kontroversi pagar laut sama-sama menunjukkan kelemahan tata kelola, di mana keputusan diambil tanpa transparansi, perencanaan matang, atau mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat.
Lebih jauh, pola ini juga mengindikasikan adanya inkonsistensi dalam tata kelola pemerintahan. Jika pemerintah benar-benar serius dalam menata subsidi energi, seharusnya kebijakan terkait LPG tidak diubah secara mendadak dan tanpa mitigasi yang memadai.
Demikian pula, jika pemerintah memiliki komitmen kuat terhadap keberlanjutan lingkungan, proyek-proyek yang merusak ekosistem seperti pagar laut di PIK 2 tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan ketat.
Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret. Dalam kasus LPG, reformasi distribusi memang diperlukan, tetapi harus dilakukan secara bertahap dan dengan sistem yang lebih inklusif. Masyarakat tidak bisa dipaksa beradaptasi dengan kebijakan yang tidak dikomunikasikan dengan baik. Digitalisasi distribusi dengan sistem verifikasi yang lebih fleksibel bisa menjadi solusi, tanpa harus menghilangkan peran pengecer yang selama ini menjadi bagian dari rantai distribusi.
Sementara itu, terkait pagar laut di PIK 2, pemerintah harus memastikan ada audit independen dan kajian lingkungan yang transparan. Jika ditemukan pelanggaran hukum atau konflik kepentingan, maka proyek tersebut harus dievaluasi atau bahkan dihentikan. Tidak boleh ada kompromi dalam kebijakan yang berdampak pada hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Lebih dari itu, pemerintah harus sadar bahwa masyarakat semakin cerdas dalam membaca pola permainan politik. Mengalihkan isu bukanlah solusi; justru hanya akan memperdalam ketidakpercayaan publik. Transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan yang berbasis kepentingan rakyat adalah satu-satunya jalan untuk membangun pemerintahan yang berwibawa dan dipercaya.