Prabowo Subianto dihadapkan pada ujian kepemimpinan yang pelik hanya beberapa bulan setelah dilantik sebagai Presiden Indonesia. Sorotan kini tertuju pada Menteri Investasi yang juga menjabat sebagai Menteri ESDM ad interim, Bahlil Lahadalia, yang kerap membuat pernyataan kontroversial hingga memicu kegaduhan publik. Namun, hingga hari ini, Prabowo belum juga mencopot Bahlil, bahkan setelah reshuffle kabinet terbaru.
Keputusan ini menguatkan persepsi publik bahwa Prabowo tidak berani mengambil langkah tegas terhadap Bahlil, meski tekanan datang dari berbagai pihak.
Kegaduhan terbaru meledak saat Bahlil mewacanakan larangan penjualan gas LPG 3 kg oleh pengecer dengan dalih penertiban distribusi. Kebijakan ini sontak menimbulkan kekhawatiran di masyarakat kecil yang sangat bergantung pada gas bersubsidi. Bukan kali ini saja Bahlil menjadi pemicu polemik. Sebelumnya, ia juga menjadi sorotan dalam isu pengaturan izin tambang, wacana pembatasan ekspor nikel yang merugikan pelaku usaha kecil, hingga ucapan yang dianggap meremehkan aspirasi buruh terkait Omnibus Law.
Desakan agar Bahlil dicopot menguat. Partai Buruh, serikat pekerja, hingga sejumlah pengamat kebijakan publik menyuarakan ketidakpuasan. Mereka menilai Bahlil kerap bertindak seolah-olah sebagai “juragan” investasi yang lebih mengutamakan kepentingan korporasi dibandingkan rakyat.
Namun, Prabowo tetap diam. Tidak ada teguran keras, apalagi sinyal pemecatan. Mengapa?
Kunci utama dari sikap hati-hati Prabowo terletak pada stabilitas politik dan koalisi besar yang menopang pemerintahannya. Bahlil bukan hanya seorang teknokrat biasa. Ia adalah figur penting yang memiliki kedekatan dengan jaringan pengusaha dan kelompok politik dari era Jokowi. Sebagai mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Bahlil memiliki akses luas ke konglomerat yang menjadi motor utama investasi di Indonesia.
Posisinya sebagai Menteri Investasi membuatnya menjadi figur strategis dalam menjaga arus modal asing dan realisasi proyek besar, termasuk investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN). Mengusik Bahlil berarti mempertaruhkan kenyamanan investor yang selama ini menjadi andalan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, Bahlil adalah representasi dari elemen kekuasaan Jokowi yang masih bercokol kuat di kabinet Prabowo. Jokowi, meski telah lengser, masih memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan baru. Kompromi politik yang terjadi dalam proses Pilpres 2024 membuat Prabowo harus berbagi panggung dengan orang-orang kepercayaan Jokowi. Bahlil adalah salah satu simbol kekuatan itu.
Di tengah peta koalisi yang gemuk, dengan partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, Gerindra, PAN, dan lainnya berada dalam barisan pemerintah, stabilitas kabinet menjadi harga mati. Prabowo tidak ingin membuka celah konflik internal yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan.
Konteks politik Indonesia selama ini menunjukkan bahwa pemecatan menteri jarang terjadi murni karena kinerja buruk. Lebih sering, itu terkait dengan perubahan dinamika politik atau gesekan antara kekuatan elite. Dalam kasus Bahlil, posisinya masih terlalu kuat untuk digoyang.
Dari sisi hukum dan tata kelola pemerintahan, tindakan Bahlil kerap dipandang melampaui kewenangan dan minim koordinasi. Namun, lemahnya evaluasi kinerja kabinet selama ini membuat sanksi politik jarang diterapkan.
Dari perspektif sosial, kegaduhan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat justru mempertebal ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rakyat kecil yang bergantung pada LPG 3 kg, buruh yang terhimpit aturan ketenagakerjaan, hingga pelaku usaha kecil yang kesulitan mengakses perizinan, merasa suaranya tak didengar.
Secara ekonomi, pendekatan yang terlalu pro-investasi tanpa mempertimbangkan dampak sosial justru berpotensi memperbesar kesenjangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ketimpangan pendapatan di Indonesia pada 2024 meningkat, dengan rasio gini mencapai 0,391, tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan Prabowo?
Pertama, Presiden harus menegaskan bahwa loyalitas politik tidak boleh mengalahkan kepentingan rakyat. Evaluasi kinerja menteri harus dilakukan secara transparan dan berbasis hasil, bukan kedekatan.
Kedua, stabilitas politik memang penting, tetapi itu tidak boleh menjadi alasan untuk membiarkan pembantu presiden bertindak sewenang-wenang. Prabowo harus berani memberi peringatan keras atau reshuffle jika memang diperlukan.
Ketiga, perbaikan komunikasi publik menjadi krusial. Setiap kebijakan yang berdampak langsung pada masyarakat harus dijelaskan dengan jelas, agar tidak menciptakan kegaduhan yang berujung pada keresahan sosial.
Keempat, pemerintah harus memastikan bahwa investasi yang masuk selaras dengan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai jargon “investasi untuk rakyat” hanya menjadi tameng bagi eksploitasi sumber daya dan peminggiran kelompok kecil.
Kelima, penguatan mekanisme checks and balances di internal kabinet. Prabowo harus memastikan koordinasi antarkementerian berjalan baik, agar menteri tidak bergerak sendiri tanpa mempertimbangkan dampak luas terhadap masyarakat.
Prabowo pernah berkata bahwa ia ingin menjadi pemimpin yang mengayomi semua golongan. Namun, ujian nyata dari kepemimpinan adalah keberanian mengambil keputusan yang mungkin tidak populer di kalangan elite, tetapi benar di mata rakyat.
Jika stabilitas politik terus menjadi alasan membiarkan kegaduhan terjadi, maka pemerintahan ini hanya akan menjadi panggung tarian elite di atas bara kekecewaan rakyat.