Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap lebih dari 50 ribu penyelenggara negara belum menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tahun 2024, masyarakat berhak bertanya: ada apa yang ingin disembunyikan?
Dalam sistem demokrasi yang sehat, pejabat publik harus menjadi teladan integritas. Pelaporan LHKPN adalah kewajiban hukum sekaligus komitmen etis untuk bersikap transparan kepada rakyat.
Ketidakpatuhan terhadap kewajiban ini bukan sekadar kelalaian administratif—melainkan alarm dini adanya potensi korupsi dan praktik pencucian uang.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, menyuarakan keresahan itu dengan tajam. Ia mendesak agar KPK menerapkan sistem sanksi nyata—bukan sekadar imbauan.
Gaji pejabat bisa ditahan, promosi dibekukan, atau akses ke fasilitas negara dibatasi jika mereka gagal melapor.
Usulan ini bukan bentuk represifisme, melainkan tindakan korektif atas kegagalan moral kolektif di kalangan birokrasi.
Karena fakta bahwa ada ribuan pejabat yang menghindar dari pelaporan wajib menunjukkan bahwa rasa malu dan rasa takut mereka terhadap hukum sudah menghilang.
Masalahnya, pemerintah dan KPK terlalu lunak. Setiap tahun, ketidakpatuhan ini selalu terjadi, tetapi tidak ada sanksi tegas yang dijatuhkan.
Padahal, dalam banyak kasus korupsi besar, ketidaksesuaian atau penggelapan LHKPN menjadi titik masuk awal penyelidikan.
Rafael Alun, pejabat pajak yang gaya hidupnya mewah tak sesuai gaji, akhirnya terseret kasus korupsi setelah publik dan media mencurigai laporan hartanya.
Kasus serupa bisa saja sedang dipelihara diam-diam oleh ribuan pejabat yang enggan terbuka.
Sistem LHKPN yang dibangun pasca-reformasi pada dasarnya merupakan pagar konstitusional agar kekuasaan tidak menjadi celah memperkaya diri.
Namun pagar itu kini keropos, bukan karena sistemnya buruk, tapi karena pengawasannya longgar dan pelanggarnya tidak pernah dipermalukan.
Tidak ada publikasi resmi siapa saja yang tidak patuh, tidak ada langkah diskualifikasi dari jabatan publik, dan tidak ada tekanan sosial yang cukup.
Bahkan pejabat-pejabat yang terang-terangan tidak melapor tetap hadir di podium, tetap menikmati fasilitas negara, dan tetap bicara soal etika.
Dalam konteks krisis kepercayaan terhadap pemerintahan dan meningkatnya angka kemiskinan, pelanggaran semacam ini menyakitkan.
Rakyat dibebani pajak, dibatasi akses layanan, sementara elite pemerintahan justru menyembunyikan kekayaan mereka.
Ini bukan persoalan pelaporan, tetapi persoalan niat. Jika memang tidak ada yang disembunyikan, laporkan saja.
Sistemnya sudah digital, prosesnya transparan. Hanya orang yang punya beban moral atau kekayaan ilegal yang takut melaporkan harta kekayaannya.
Masalah ini juga membuka pertanyaan lain: apakah KPK masih bisa bertaring?
Sejak revisi UU KPK pada 2019, lembaga ini perlahan dilumpuhkan secara sistemik.
Pimpinan KPK saat ini lebih banyak tampil di ruang publik dengan bahasa normatif ketimbang tindakan keras.
Penyakit sistemik ini tidak akan sembuh dengan imbauan moral, melainkan dengan tekanan politik dari publik dan sanksi tegas yang ditegakkan tanpa kompromi.
Apalagi di era pemerintahan Prabowo Subianto yang segera dimulai, sinyal-sinyal konsolidasi kekuasaan dan kembalinya gaya pemerintahan terpusat semakin jelas.
Dalam situasi ini, lembaga pengawas seperti KPK justru harus memperkuat perannya agar tidak menjadi alat kosmetik belaka.
LHKPN adalah instrumen konstitusional yang bisa mencegah dominasi oligarki.
Ketika ribuan pejabat menghindar dari kewajiban ini, sesungguhnya mereka sedang memberi sinyal bahwa sistem ini bisa ditipu, dan kekuasaan bisa dibungkus dengan kebohongan.
Editorial ini meyakini bahwa ketegasan terhadap pelanggar LHKPN adalah ujian besar bagi keseriusan negara dalam menjaga demokrasi.
Jika KPK masih memiliki keberanian, inilah saatnya menunjukkan bahwa lembaga itu bukan hanya simbol semata.
Harta yang disembunyikan hari ini bisa jadi bom waktu yang meledak besok.
Dan setiap pejabat yang gagal melapor harus dianggap sebagai calon koruptor sampai terbukti sebaliknya.