Denpasar – Ternyata baru sekarang media asing menyadari bahwa perempuan yang sedang menstruasi dilarang masuk pura di Bali. Aturan adat yang sudah lama berlaku ini mendadak jadi sorotan internasional, setelah Gubernur Bali Wayan Koster memperbarui panduan perilaku wisatawan pada 24 Maret 2025 lalu.
Dalam panduan yang diperbarui tersebut, larangan terhadap perempuan haid ditegaskan kembali sebagai bagian dari upaya menjaga kesucian tempat suci umat Hindu di Bali. Kebijakan ini juga menyasar wisatawan asing yang sering kali tidak memahami adat dan larangan lokal ketika berkunjung ke pura.
Sorotan datang dari berbagai media asing ternama, seperti News.com.au dari Australia, Daily Mail dari Inggris, New York Post dari Amerika Serikat, serta Time Out dan DestinAsian. Mereka mengulas aturan ini dengan berbagai sudut pandang, mulai dari pelestarian budaya hingga polemik soal tubuh perempuan dan hak akses ke tempat publik.
News.com.au menyoroti bahwa larangan ini merupakan bagian dari panduan baru yang dirancang untuk menertibkan perilaku turis nakal. Sementara Daily Mail menyebut bahwa darah menstruasi dianggap “kotor” dan dapat mencemari tempat suci.
Bahkan, mereka menambahkan informasi dari situs lokal yang menyebut beberapa perempuan bisa merasakan sakit atau pingsan saat melanggar larangan ini.
New York Post dan Time Out menekankan pentingnya perilaku sopan dan berpakaian pantas saat berkunjung ke pura, serta kewajiban mengenakan pakaian adat Bali untuk umat yang hendak sembahyang. Selain itu, pengunjung dilarang membawa plastik sekali pakai, mengumpat, atau menunjukkan perilaku tidak menghormati warga lokal.
Legenda di Bali juga menyebut bahwa perempuan yang sedang haid dianggap berada dalam kondisi spiritual yang tidak suci, yang bisa mengundang malapetaka jika tetap memasuki area suci.
Kondisi serupa juga berlaku bagi mereka yang berada dalam masa berkabung, atau baru memiliki bayi berusia di bawah enam bulan. Semua itu termasuk dalam konsep “cuntaka” dalam ajaran Hindu Bali.
Meski demikian, belum ada mekanisme resmi untuk memeriksa status menstruasi seseorang. Ini memunculkan pertanyaan dari media asing tentang bagaimana aturan tersebut ditegakkan di lapangan.
Beberapa pihak menilai bahwa pelaksanaan aturan ini sepenuhnya mengandalkan kesadaran dan kejujuran pribadi, serta pemahaman terhadap nilai-nilai lokal.
Gubernur Bali, Wayan Koster, menegaskan bahwa pembaruan aturan ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara pariwisata dan budaya. Ia menyatakan bahwa dengan meningkatnya kunjungan wisatawan, penting bagi pemerintah daerah untuk memastikan setiap pengunjung memahami dan menghormati adat istiadat setempat.
Pulau Bali yang dikenal sebagai destinasi spiritual dan budaya ternama di dunia selama ini menjadi tujuan utama wisatawan dari berbagai negara.
Namun dengan eksposur media global terhadap aturan ini, muncul pula kekhawatiran akan persepsi negatif terhadap praktik budaya lokal jika tidak dipahami secara utuh oleh publik luar negeri.
Respons masyarakat lokal terhadap sorotan media asing ini beragam. Sebagian besar warga Bali mendukung pelestarian nilai-nilai adat dan menganggap perhatian media asing sebagai momen edukasi tentang budaya Bali.
Namun, ada pula yang merasa aturan ini perlu dijelaskan lebih terbuka agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di kalangan wisatawan internasional.
