Jakarta – Pemangkasan anggaran Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) hingga lebih dari 40% dalam RAPBN 2025 menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keberlanjutan sektor pariwisata. Kebijakan efisiensi anggaran yang digulirkan pemerintah dengan dalih menjaga stabilitas fiskal justru dinilai kontraproduktif terhadap momentum kebangkitan pariwisata pascapandemi.
Dengan hanya menyisakan Rp884,9 miliar dari pagu awal Rp1,49 triliun, langkah ini membatasi kemampuan pemerintah dalam menjalankan program prioritas seperti promosi internasional, pengembangan destinasi unggulan, hingga peningkatan kualitas SDM pariwisata. Padahal, pariwisata merupakan sektor strategis dengan efek berganda besar terhadap ekonomi nasional.
“Setiap rupiah yang dibelanjakan wisatawan menciptakan rantai ekonomi yang luas, dari petani hingga pelaku industri kreatif,” ujar Sri Mariati, peneliti SDGs HUB UI dan dosen Pascasarjana Institut Pariwisata Trisakti.
Ia menekankan bahwa efisiensi seharusnya menyasar birokrasi dan program yang minim dampak, bukan justru memangkas pos strategis yang punya kontribusi besar terhadap PDB dan penciptaan lapangan kerja.
Kondisi ini semakin kontras dengan strategi negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam yang justru meningkatkan anggaran promosi dan pengembangan infrastruktur wisata untuk merebut pangsa pasar global yang mulai pulih. Jika tidak segera direspons, Indonesia berisiko kehilangan daya saing dan peluang devisa bernilai besar dari sektor ini.
Selain itu, pemotongan juga diprediksi memicu kerugian ekonomi di sektor perhotelan dan restoran, terutama dari hilangnya belanja MICE oleh pemerintah. Infrastruktur dasar seperti akses ke destinasi wisata, sanitasi, hingga jaringan internet pun terancam tidak mendapatkan prioritas.
Sri Mariati menambahkan bahwa kolaborasi lintas kementerian dan inovasi skema pendanaan non-APBN seperti KPBU dan dana abadi pariwisata perlu segera dirumuskan agar efisiensi tidak menjadi bumerang bagi sektor vital ini.
Kebijakan efisiensi anggaran memang penting, namun jika tidak disertai dengan kebijaksanaan strategis, bisa menghambat kontribusi pariwisata terhadap pemulihan dan pertumbuhan ekonomi nasional.
