Industri produk tiruan di sektor fashion terus berkembang pesat di Indonesia. Mulai dari tas, pakaian, hingga sepatu, barang palsu kini mudah ditemukan di pasaran dengan harga jauh lebih murah dibandingkan produk asli.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di Gadjah Mada International Journal of Business oleh Iin Mayasari, sikap konsumen terhadap pembelian barang palsu dipengaruhi oleh faktor personal seperti integritas, novelty seeking (keinginan mencari hal baru), serta konsumsi berbasis status sosial.
“Keinginan mencoba sesuatu yang baru membuat konsumen lebih terbuka terhadap pembelian produk palsu,” ungkap hasil riset tersebut.
Namun, nilai integritas pribadi tetap menjadi faktor penting yang menahan kecenderungan ini. Konsumen dengan prinsip kuat lebih memilih tidak membeli produk palsu.
Selain faktor pribadi, aspek sosial juga sangat mempengaruhi. Rekomendasi dari teman atau komunitas meningkatkan niat seseorang untuk membeli produk tiruan.
Dalam banyak kasus, budaya kolektif membuat perilaku konsumtif terhadap barang palsu dianggap wajar dalam lingkungan sosial.
Sebaliknya, motivasi berbasis vanity seperti keinginan tampil menarik (physical vanity) dan memperlihatkan prestasi (achievement vanity) tidak berpengaruh signifikan. Ini menunjukkan bahwa pembelian barang palsu lebih
banyak didorong oleh dorongan sosial dan rasa penasaran, bukan sekadar gaya hidup mewah.
Meski konsumen sadar kualitas barang palsu lebih rendah, faktor harga murah dan penerimaan sosial tetap membuat produk-produk tiruan laris di pasaran.
Kerugian ekonomi akibat peredaran barang palsu di Indonesia pun sangat besar. Menurut data terbaru dari Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) dan Institute for Economic Analysis of Law and Policy Universitas Pelita Harapan, kerugian akibat produk ilegal, termasuk barang palsu, mencapai sekitar Rp291 triliun pada tahun 2024 .
Angka ini mencakup potensi kehilangan penerimaan pajak dan hambatan besar terhadap pertumbuhan lapangan kerja di sektor formal.
Menghadapi realitas ini, peneliti menyarankan strategi inovatif seperti memperbanyak mass prestige brand—produk asli dengan harga lebih terjangkau tetapi tetap bergengsi.
Selain itu, edukasi konsumen tentang pentingnya mendukung produk orisinal dan penguatan regulasi perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi langkah penting.
Masa depan industri fashion Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kreativitas para pelaku bisnis, tetapi juga oleh kesadaran kolektif masyarakat untuk lebih menghargai keaslian dan membangun ekonomi yang lebih sehat.