Wacana vasektomi sebagai syarat bantuan sosial bukan saja problematis dari segi etika, tetapi juga menyesatkan secara logika dan cacat dalam nalar keadilan sosial. Usulan ini datang dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menyatakan bahwa pria miskin harus menjalani vasektomi jika ingin mengakses berbagai bantuan pemerintah.
Pernyataan tersebut sontak memicu kontroversi. Di satu sisi, ia mungkin bermaksud menekan laju pertumbuhan penduduk yang dianggap tidak terkendali di kalangan prasejahtera. Namun di sisi lain, wacana ini dengan terang menunjukkan bahwa negara lebih mudah menyalahkan rahim rakyat daripada menghadapi akar struktural persoalan kemiskinan.
Apakah negara benar-benar tidak tahu bahwa kemiskinan tidak lahir dari jumlah anak? Atau memang lebih nyaman untuk menyalahkan rakyat miskin karena lebih lemah dan tak mampu melawan?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan. Karena dalam narasi kebijakan publik, ada kecenderungan mengalihkan fokus dari masalah yang sebenarnya. Yang menjadi akar kemiskinan justru jarang disentuh: korupsi yang meluas, kebijakan fiskal yang eksklusif, akses pendidikan yang timpang, dan sistem ekonomi yang tidak inklusif.
Jika merujuk pada data, laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2024 mencatat bahwa kerugian negara akibat korupsi dalam satu tahun bisa mencapai lebih dari Rp 35 triliun. Sementara total anggaran bansos dalam APBN hanya sekitar Rp 493 triliun yang tersebar ke berbagai program—sebagian besar bersifat sektoral dan tidak menyentuh akar persoalan sosial.
Dengan kata lain, kemiskinan bukan terjadi karena terlalu banyak warga miskin yang punya anak, tetapi karena terlalu banyak elite yang menguras anggaran negara.
Kebijakan publik yang baik harus berbasis pada keadilan, bukan pada penghakiman moral terhadap rakyat kecil. Mengapa hak dasar seperti bantuan sosial harus dibarter dengan tindakan medis yang mempengaruhi hak reproduksi? Bukankah bantuan sosial adalah hak konstitusional setiap warga negara, bukan hadiah dari penguasa?
Ada yang salah ketika bantuan yang bersumber dari uang rakyat justru disyaratkan dengan pemaksaan sterilitas terhadap rakyat. Ini bukan lagi sekadar intervensi kebijakan, tapi bentuk manipulasi struktural yang memanfaatkan posisi negara sebagai pemberi akses, bukan pelindung hak warga.
Vasektomi bukanlah masalah pada dirinya sendiri. Prosedur ini legal, etis, dan bahkan direkomendasikan sebagai bentuk kesadaran ber-KB jika diambil secara sukarela. Masalah muncul ketika vasektomi dijadikan syarat. Di titik inilah, kebijakan berubah menjadi tekanan. Relasi antara negara dan rakyatnya menjadi timpang: negara mengatur sampai ke urusan tubuh.
Apalagi kebijakan ini tidak menyentuh penyebab utama mengapa keluarga prasejahtera memilih memiliki banyak anak. Dalam banyak kasus, anak-anak menjadi bentuk jaminan sosial informal bagi keluarga yang tidak memiliki asuransi, pensiun, atau akses terhadap pelayanan dasar. Negara absen, lalu menyalahkan rakyat karena mencoba bertahan dengan cara sendiri.
Selain itu, mewajibkan vasektomi justru berpotensi memperburuk kepercayaan publik terhadap program KB yang selama ini sedang dipulihkan citranya. Selama Orde Baru, KB sering dijalankan secara koersif. Trauma itu belum hilang. Alih-alih mendorong partisipasi aktif, kebijakan ini justru bisa menimbulkan resistensi yang lebih luas.
Wacana seperti ini juga melecehkan perempuan secara tidak langsung. Karena ketimpangan peran gender dalam keluarga tak serta-merta diselesaikan dengan vasektomi. Jika benar ingin memperkuat peran laki-laki dalam KB, maka jalannya adalah edukasi, bukan tekanan melalui bansos. Perubahan kesadaran tidak bisa dihasilkan dari ketakutan akan kehilangan bantuan.
Lebih penting lagi, negara seharusnya memperkuat infrastruktur kesejahteraan. Meningkatkan upah minimum yang layak. Menyediakan akses layanan kesehatan dan pendidikan gratis yang bermutu. Memberikan perlindungan sosial yang kuat untuk buruh informal. Dan yang tak kalah penting: menindak tegas korupsi yang memakan uang rakyat.
Tapi selama kebijakan dirancang dengan cara berpikir “elitis”—di mana rakyat miskin dianggap sebagai beban yang perlu dikendalikan, bukan manusia yang harus dilindungi—selama itu pula solusi-solusi seperti ini akan terus bermunculan. Ini adalah cermin kegagalan memahami esensi kebijakan publik: untuk memberdayakan, bukan membatasi.
Jika kita jujur, kita harus katakan bahwa negara selama ini gagal menyediakan jaminan dasar hidup yang adil. Angka stunting masih tinggi, pengangguran terbuka terus bertambah, dan urbanisasi memaksa jutaan orang meninggalkan kampung untuk bertahan hidup di kota. Tapi semua itu tidak pernah dijadikan refleksi. Yang dikritik tetap saja rahim rakyat.
Sangat ironis bahwa gagasan semacam ini bisa muncul di tengah masa transisi kekuasaan nasional. Ketika banyak pihak menuntut kepemimpinan yang lebih adil, lebih berpihak, lebih peka terhadap keadilan sosial, justru muncul wacana yang menyalahkan rakyat miskin atas kemiskinannya sendiri.
Ini bukan solusi. Ini bentuk pengabaian tanggung jawab.
Alih-alih membatasi jumlah anak, mengapa tidak membatasi jumlah proyek-proyek mercusuar yang menyedot anggaran tanpa evaluasi? Mengapa tidak membatasi jumlah pejabat korup yang merampok dana bansos? Mengapa tidak membatasi praktek oligarki yang menyedot kekayaan dari daerah ke pusat?
Kebijakan sosial seharusnya dimulai dari keberpihakan pada rakyat. Pada hak hidup yang layak, pendidikan yang bermutu, kesehatan yang terjangkau. Bukan pada pengendalian tubuh manusia atas nama efisiensi anggaran.
Rakyat Indonesia, terutama yang hidup dalam garis kemiskinan, sudah cukup lelah dituding sebagai penyebab kemunduran bangsa. Padahal mereka bekerja paling keras, membayar harga paling mahal, dan menerima bagian paling kecil dari pertumbuhan ekonomi.
Kini yang mereka butuhkan bukan lagi imbauan untuk mensterilkan diri, tapi jaminan bahwa anak-anak mereka akan bisa sekolah, hidup sehat, dan punya masa depan. Karena yang mereka minta bukan charity, melainkan keadilan.