Jakarta – “Bukan kewenangan TNI untuk mendidik siswa dalam konteks pendidikan kewarganegaraan,” demikian pernyataan tajam dari Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM, menanggapi rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang akan mengirim siswa bermasalah ke barak militer.
Wacana ini menimbulkan polemik karena dianggap menyalahi prinsip hak asasi anak dan melewati jalur pendidikan yang semestinya.
Rencana yang diumumkan Dedi pada Minggu (27/4) ini akan diberlakukan mulai 2 Mei 2025 di beberapa daerah rawan di Jawa Barat. Program ini menyasar siswa yang dinilai susah dibina dan terindikasi terlibat perilaku menyimpang atau kriminal.
Selama enam bulan, siswa tersebut tidak mengikuti sekolah formal dan akan dibina langsung di bawah pengawasan TNI, yang bahkan dijadwalkan menjemput mereka langsung dari rumah.
Kritik keras datang dari Komnas HAM. Atnike menyatakan bahwa program seperti ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan berisiko melanggar hak anak.
“Oh, iya, dong (keliru). Itu proses di luar hukum kalau tidak berdasarkan hukum pidana bagi anak di bawah umur,” ujar Atnike saat ditemui di kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Menurutnya, mengajak siswa mengunjungi institusi seperti TNI, Polri, atau lembaga negara lainnya untuk mengenalkan fungsi dan tugasnya masih dalam koridor edukatif. Namun, jika berbentuk pelatihan atau pendidikan ala militer apalagi sebagai bentuk hukuman, maka itu menjadi tindakan yang tidak tepat.
Dedi Mulyadi berdalih bahwa program ini adalah bentuk pendidikan karakter yang bertujuan membentuk disiplin dan mental tangguh siswa. Ia menambahkan bahwa peserta program dipilih atas kesepakatan sekolah dan orang tua, serta hanya di wilayah yang dianggap siap.
Namun, terlepas dari maksud baiknya, program ini masih menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerhati hak anak dan pendidik. Banyak pihak mendesak agar pendekatan pendidikan tidak mengarah pada praktik yang menyerupai militerisasi anak, apalagi tanpa pengawasan hukum yang jelas.
Dengan kritik dari Komnas HAM ini, pemerintah daerah diharapkan meninjau ulang kebijakan tersebut dan mencari pendekatan pendidikan karakter yang lebih inklusif, sesuai hukum, serta menjunjung tinggi hak anak.
