Samarinda – Janji Pertamina membuka layanan perbaikan kendaraan buntut dugaan BBM bermasalah belum juga menunjukkan kejelasan berarti.
Padahal, layanan ini sempat diumumkan pasca-audiensi antara Pertamina dan DPRD Kalimantan Timur pada 9 April lalu.
Meski diklaim telah tersedia di tiga kota, yakni Balikpapan, Samarinda, dan Bontang, masyarakat dan DPRD Kaltim justru mempertanyakan sejauh mana layanan ini benar-benar diterapkan.
Bentuk klaim, prosedur teknis, serta mekanisme verifikasi masih belum dipublikasikan secara terang dan terbuka.
Kondisi ini memicu kekhawatiran akan munculnya celah penyalahgunaan, sembari menambah panjang deret keluhan masyarakat yang belum mendapat respons memadai.
“Kami dengar sudah dibuka, tapi pelaksanaannya bagaimana? Syaratnya apa saja? Ini yang tidak pernah dijelaskan secara rinci ke publik,” ungkap Sapto Setyo Pramono, Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, usai rapat dengar pendapat di Gedung E DPRD, Senin (5/5/2025).
Ia menyebut telah menerima laporan masyarakat yang memanfaatkan kondisi ini untuk mengajukan klaim palsu.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya sistem verifikasi menyeluruh, termasuk data pembelian BBM dan catatan kondisi kendaraan.
“Beli di SPBU mana, jam berapa, dan rusaknya kapan serta di mana — semua harus dicatat dan dibuktikan. Jangan sampai masyarakat yang benar justru dirugikan,” tegasnya.
Sapto menambahkan bahwa meski belum ada jadwal pemanggilan ulang terhadap Pertamina, Komisi II tetap berkomitmen mengevaluasi kebijakan ini.
Banyaknya agenda lain, termasuk isu ekonomi dan sektor perkebunan, membuat dewan perlu menyusun prioritas.
Namun ia menegaskan, masalah BBM ini harus menjadi peringatan keras bagi Pertamina untuk memperbaiki manajemen pengawasan serta integritas layanan publiknya.
“Jangan sampai perusahaan sebesar ini tercoreng hanya karena kelalaian teknis atau oknum. Integritas dan profesionalitas itu mutlak,” ucap Sapto.
Hingga kini, laporan kerusakan akibat BBM memang mulai menurun. Namun DPRD tetap meminta masyarakat tetap kritis dan waspada, agar insiden serupa tidak terulang dan pengawasan dari lembaga berwenang dapat lebih ketat.

