Mahkamah Konstitusi resmi memutuskan pemilu nasional dan daerah akan diselenggarakan secara terpisah mulai tahun 2029. Ini berarti pemilu untuk memilih Presiden, DPR, dan DPD akan berlangsung pada satu waktu. Sementara pemilu kepala daerah—gubernur, bupati, wali kota, serta anggota DPRD—akan diadakan pada waktu yang berbeda.
Putusan ini memang konstitusional. Tapi apakah ia juga rasional secara politik dan sosial?
Ahmad Khoirul Umam, pengamat politik dan Kepala BRAINS Partai Demokrat, menyebut keputusan ini bisa memperpanjang siklus ketegangan politik. Ketika pemilu dipisah, ruang kompetisi terbuka lebih lama. Artinya, tensi politik tak lagi musiman—tapi nyaris permanen.
Ini berpotensi mengganggu stabilitas pemerintahan. Ketika pemerintah pusat sibuk konsolidasi pasca-pemilu nasional, pemerintah daerah malah sedang menghadapi kampanye. Koordinasi terganggu. Agenda pembangunan tergeser oleh kepentingan elektoral yang datang bertubi-tubi.
Tak hanya itu.
Pemisahan ini membuka risiko ketidaksinkronan antara pejabat pusat dan daerah. Pelantikan presiden bisa tidak sejalan dengan pelantikan kepala daerah. Akibatnya, koordinasi lintas kebijakan menjadi tidak efisien. Visi besar di pusat bisa terganjal kepentingan daerah yang berbeda siklus politik.
Secara struktural, Indonesia belum cukup siap menghadapi beban politik berlapis. Dalam sistem presidensial yang terdesentralisasi, harmoni antara pusat dan daerah sangat menentukan. Tapi pemisahan pemilu justru memperlebar garis koordinatif itu.
Jika pemerintah pusat dan daerah tak satu irama dalam waktu yang lama, kita berisiko menghadapi pemerintahan yang berjalan dengan arah berbeda. Dan ini bisa memperdalam polarisasi politik—baik secara kelembagaan maupun di akar rumput.
Pemisahan pemilu memang bisa punya sisi positif.
Ia memungkinkan pemilih lebih fokus pada isu lokal saat pemilu daerah, dan pada isu nasional saat pemilu presiden. Tapi di negara yang masih rentan dengan politik identitas dan polarisasi sosial seperti Indonesia, pemisahan bisa menjadi ruang baru bagi konflik yang tidak pernah benar-benar reda.
Secara logistik dan anggaran, pemisahan juga menyulitkan. Dua kali pemilu berarti dua kali biaya, dua kali potensi gesekan, dan dua kali tantangan keamanan. KPU harus bekerja ekstra keras, begitu juga Bawaslu dan DKPP.
Dari sisi pemilih, potensi kejenuhan bisa muncul. Terlalu sering diminta memilih bisa membuat masyarakat justru semakin apatis. Partisipasi bisa turun. Legitimasi pejabat terpilih pun ikut menurun.
Pemerintah harus cermat menyusun mekanisme transisi.
Sinkronisasi program antarperiode mesti dijaga. Jangan sampai keputusan MK ini justru membuat kebijakan pusat dan daerah saling tumpang-tindih. Skema koordinasi baru perlu dibangun.
Jika tidak, maka demokrasi akan kehilangan arah.
Memisahkan waktu bukan berarti menyederhanakan proses. Dalam politik, pemisahan yang tak dikelola dengan matang hanya akan memecah stabilitas. Dan stabilitas adalah fondasi utama pembangunan jangka panjang.
