Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali membanggakan Indonesia. Dalam pemeringkatan QS World University Rankings (QS WUR) edisi 2026, UGM menembus posisi ke-224 dunia. Ini naik 15 peringkat dari tahun sebelumnya dan menjadi capaian terbaik UGM dalam lebih dari satu dekade terakhir.
Dua indikator utama yang mendongkrak prestasi ini adalah reputasi akademik dan reputasi di mata pemberi kerja. UGM kini berada di peringkat 134 dunia untuk reputasi akademik, serta peringkat 93 global dalam reputasi lulusan di mata pemberi kerja.
Prestasi ini menunjukkan konsistensi UGM dalam memperbaiki kualitas pendidikan, riset, dan penguatan jejaring global. Ia menjadi simbol kebanggaan nasional, sekaligus bukti bahwa Indonesia mampu bersaing di tingkat Asia Tenggara dan dunia.
Namun di balik angka-angka gemilang ini, ada kegelisahan yang belum terselesaikan.
Tahun 2025 kembali diramaikan kontroversi seputar keaslian ijazah Presiden Joko Widodo. Meski UGM sudah menyatakan ijazah itu asli, publik menilai klarifikasi kampus belum menyentuh akar persoalan. Banyak pihak menuntut agar dokumen fisik atau salinan resmi bisa diakses untuk mematahkan segala keraguan.
UGM telah memberikan penjelasan administratif dan membela keabsahan dokumen. Tapi bagi sebagian masyarakat, penjelasan itu masih dirasa kurang transparan.
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana mungkin universitas dengan reputasi akademik tinggi justru menjadi pusat keraguan terkait dokumen lulusan pentingnya?
Reputasi akademik memang penting untuk peta global. Namun reputasi lokal yang berlandaskan integritas jauh lebih penting bagi masyarakat luas. Ranking internasional tidak akan berarti banyak jika di dalam negeri, kepercayaan publik pada lembaga akademik mulai luntur.
Kasus ijazah ini tidak hanya soal dokumen satu orang. Ia adalah simbol bagaimana kampus merespons krisis integritas. Ketika kejujuran diuji, reaksi kampus menunjukkan nilai dasar yang dipegang: apakah lebih mementingkan citra, atau keberanian mengungkap kebenaran seterang-terangnya.
Jika tidak dijawab dengan keterbukaan, isu semacam ini bisa menurunkan kepercayaan pada seluruh ekosistem akademik.
UGM pernah dikenal sebagai kampus kritis, tempat lahirnya berbagai gerakan moral. Sikap sivitas akademika yang berani mengkritik pemerintah memperlihatkan komitmen terhadap nilai demokrasi. Namun, komitmen itu harus selaras dengan keberanian menjaga integritas internal.
Prestasi di QS WUR memang membanggakan. Tapi jika integritas diabaikan, maka angka ranking hanya akan jadi pajangan. Kampus akan dianggap “hebat di atas kertas, tapi lemah dalam prinsip.”
Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh UGM untuk merawat kepercayaan publik.
Pertama, memperkuat transparansi. Dokumen penting, terutama yang berkaitan dengan alumni publik, harus dapat diverifikasi secara terbuka. Jika belum memungkinkan dibuka untuk umum, minimal disediakan salinan resmi yang dapat ditinjau lembaga independen.
Kedua, memperkuat akuntabilitas. Penjelasan resmi sebaiknya bukan hanya dalam bentuk pernyataan satu arah, tetapi juga dilengkapi audit internal dan publikasi hasil analisis secara ilmiah. Dengan begitu, masyarakat bisa menilai prosesnya secara objektif.
Ketiga, menyelaraskan reputasi global dan lokal. Strategi mengejar ranking internasional seharusnya diimbangi dengan strategi menjaga kepercayaan masyarakat Indonesia. Bagi rakyat, nilai moral dan transparansi sering kali lebih penting daripada sekadar posisi di pemeringkatan dunia.
Keempat, memperdalam pendidikan etika di lingkungan kampus. Nilai kejujuran dan tanggung jawab akademik harus terus ditanamkan kepada mahasiswa, dosen, dan seluruh sivitas.
Reputasi akademik yang kokoh memerlukan pondasi integritas yang kuat. Jika tidak, reputasi itu ibarat gedung tinggi yang dibangun di atas pasir rapuh—mudah runtuh saat diterpa badai keraguan.
UGM punya modal besar. Sejarah panjang, jejaring alumni yang luas, prestasi riset, serta kontribusi terhadap pembangunan nasional adalah kekuatan yang tak terbantahkan. Tapi semua itu harus dijaga dengan konsistensi nilai moral.
Inilah saatnya UGM memimpin, bukan hanya sebagai kampus unggul di ranking, tetapi juga sebagai pelopor etika akademik di Indonesia.
Dengan mengutamakan transparansi, kampus akan memperlihatkan keberanian yang jarang dimiliki banyak institusi. Keberanian untuk jujur, untuk terbuka, dan untuk tidak takut pada kritik.
Jika UGM berhasil menjaga keseimbangan antara prestasi akademik dan integritas, maka namanya tidak hanya harum di peta QS, tapi juga di hati rakyat.
Ketika kampus mampu menunjukkan bahwa angka ranking dan etika bisa berjalan seiring, itulah saat reputasi sesungguhnya lahir. Bukan hanya reputasi di mata dunia, tetapi juga di mata bangsa sendiri.