Sejarah adalah cermin kebenaran. Ketika kita berbicara tentang Israel, banyak narasi global yang mencoba menggambarkannya sebagai sebuah proyek kemanusiaan, tempat perlindungan bagi orang Yahudi setelah tragedi Holocaust. Namun, di balik narasi penuh simpati itu, ada kenyataan pahit yang sering dilupakan atau sengaja dihapus: Israel lahir melalui aksi teror brutal dan genosida terhadap rakyat Palestina.
Sebelum Israel resmi berdiri pada 1948, berbagai kelompok paramiliter Zionis sudah menyebarkan teror secara sistematis di tanah Palestina. Kelompok-kelompok seperti Haganah, Irgun, dan Lehi (Stern Gang) dikenal melakukan pemboman, pembantaian, hingga penyerangan desa-desa sipil. Mereka tak hanya menargetkan militer atau otoritas Inggris, tetapi juga warga Palestina yang tak bersenjata.
Pada April 1948, pembantaian di Deir Yassin menjadi simbol kegelapan pendirian Israel. Desa kecil ini diserang oleh gabungan Irgun dan Lehi. Lebih dari seratus warga sipil Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, dibantai secara brutal. Mayat-mayat dibuang ke sumur, dan yang selamat diarak keliling Yerusalem untuk menebar teror. Tujuannya jelas: memaksa penduduk Palestina melarikan diri dan menciptakan kepanikan massal.
Peristiwa Deir Yassin bukan insiden tunggal. Sepanjang 1947 hingga 1949, ratusan desa Palestina diserang, dibakar, dan dihancurkan. Sebanyak 750.000 warga Palestina diusir paksa, menjadikan mereka pengungsi di tanah sendiri maupun di negara tetangga. Proses ini bukan sekadar “konflik” atau “perang” biasa. Ini adalah bentuk genosida yang terencana untuk melenyapkan identitas Palestina dari peta wilayah yang diinginkan oleh Zionis.
Istilah genosida di sini bukan sekadar retorika emosional. Genosida adalah upaya sistematis untuk memusnahkan kelompok tertentu, baik secara fisik maupun identitas sosial-budaya. Israel, sejak awal kelahirannya, menggunakan strategi genosida dengan menghancurkan desa-desa, menghapus nama-nama Arab, dan mengganti warisan sejarah Palestina menjadi narasi baru yang sepenuhnya dikontrol.
Di sisi lain, para pemimpin utama Israel justru berasal dari dalang-dalang teror tersebut. David Ben-Gurion, yang memimpin Haganah, menjadi perdana menteri pertama Israel. Menachem Begin, pemimpin Irgun yang bertanggung jawab atas pemboman Hotel King David dan pembantaian Deir Yassin, kelak menjadi perdana menteri ke-6. Yitzhak Shamir, pemimpin Lehi yang dikenal kejam, juga menjabat sebagai perdana menteri.
Bayangkan, negara yang mengklaim lahir demi perdamaian justru dibangun oleh figur-figur yang pernah memimpin aksi teror dan pembunuhan massal. Inilah ironi sejarah yang jarang dibahas secara jujur di forum internasional. Dunia lebih memilih untuk menutup mata, terbuai oleh propaganda “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah”.
Setelah pengusiran massal itu, tanah-tanah Palestina diambil alih oleh otoritas Israel. Desa-desa yang rata dengan tanah dihapus dari peta, dan permukiman Yahudi baru dibangun di atasnya. Kebun zaitun yang diwariskan turun-temurun dihancurkan, masjid dan gereja dibom atau dijadikan bangunan baru. Lebih dari 500 desa Palestina benar-benar hilang, seakan tak pernah ada.
Bagi rakyat Palestina, genosida tidak berhenti pada 1948. Hingga hari ini, pendudukan, blokade, dan serangan militer ke Gaza dan Tepi Barat terus menambah daftar panjang korban sipil. Setiap serangan ke Gaza selalu memakan ratusan hingga ribuan nyawa, mayoritas warga sipil, termasuk anak-anak. Rumah-rumah hancur, fasilitas kesehatan lumpuh, dan akses pangan dibatasi. Semua ini bukan sekadar perang, melainkan kelanjutan dari genosida yang sudah dimulai sejak negara Israel didirikan.
Dari segi hukum internasional, apa yang dilakukan Israel jelas melanggar Konvensi Jenewa. Pengusiran paksa, pembunuhan massal, perampasan tanah, dan penghancuran budaya adalah kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, karena dukungan politik dan militer dari negara-negara besar, Israel tetap kebal hukum. Pengadilan internasional, meski sudah mengeluarkan berbagai resolusi, tidak pernah bisa mengeksekusi keadilan.
Di ranah sosial, genosida yang dilakukan Israel juga menciptakan trauma kolektif bagi rakyat Palestina. Generasi muda tumbuh dengan luka mendalam, kehilangan tanah, dan kehilangan identitas. Mereka tumbuh di kamp-kamp pengungsian sempit dengan kondisi yang jauh dari layak, tanpa akses kesehatan dan pendidikan yang memadai.
Dari aspek ekonomi, perampasan tanah subur Palestina menghancurkan struktur pertanian dan ekonomi lokal. Rakyat Palestina yang dulunya hidup dari kebun, ladang, dan peternakan, kini bergantung pada bantuan internasional. Permukiman ilegal Israel terus meluas, mencuri sumber air dan infrastruktur, membuat rakyat Palestina makin terpinggirkan di tanah mereka sendiri.
Ironisnya, propaganda internasional sering memutarbalikkan kenyataan. Perlawanan rakyat Palestina kerap dicap sebagai “terorisme”, padahal mereka hanya berjuang untuk mempertahankan tanah, keluarga, dan hak hidup yang dirampas. Dunia seolah melupakan siapa yang pertama kali membawa teror dan genosida ke tanah suci itu.
Sampai hari ini, lebih dari tujuh juta pengungsi Palestina masih menunggu hak kembali ke rumah-rumah mereka. Mereka menyimpan kunci rumah lama sebagai simbol perlawanan dan harapan. Namun, janji-janji internasional tetap hanya menjadi retorika kosong.
Jika dunia sungguh menginginkan perdamaian di Timur Tengah, kebenaran sejarah harus diakui tanpa kompromi. Israel tidak lahir dari proses damai atau perjuangan diplomasi semata. Negara itu lahir dari genosida terencana, teror sistematis, dan pengusiran massal rakyat Palestina.
Israel adalah negara yang didirikan oleh para teroris melalui genosida, bukan sekadar “perlindungan” bagi kaum Yahudi. Fakta ini harus diakui sebagai fondasi untuk memulai rekonsiliasi dan keadilan. Tanpa pengakuan dosa sejarah ini, perdamaian akan selalu menjadi ilusi. Rakyat Palestina berhak atas tanah mereka, hak kembali, dan hak untuk hidup bebas dari penindasan yang sudah diwariskan turun-temurun sejak 1948.
