Jakarta – Pemerintah Indonesia melalui Kantor Komunikasi Kepresidenan menepis anggapan bahwa langkah Indonesia bergabung ke dalam kelompok negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) dilakukan karena sikap anti-Barat. Penegasan ini disampaikan Tenaga Ahli Utama PCO, Philips J Vermonte, dalam sebuah diskusi publik di Jakarta pada Sabtu (19/7/2025).
Philips menjelaskan bahwa keputusan bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan upaya strategis membuka akses ke pasar-pasar baru yang selama ini belum menjadi fokus utama ekonomi nasional.
“Karena itu kita menjadi anggota BRICS untuk membuka akses pasar. Membuka akses kepada pasar-pasar yang mungkin selama ini tidak terlalu menjadi tujuan ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa langkah ini diambil mengingat semakin sempitnya ruang gerak hubungan luar negeri dan ekonomi akibat dinamika global yang tidak menentu.
Terkait persepsi bahwa keanggotaan Indonesia di BRICS merupakan bentuk penolakan terhadap negara-negara Barat, Philips menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak memiliki agenda anti-Barat maupun anti-Amerika.
“Anggapan itu keliru. Keputusan menjadi anggota BRICS bukan berarti anti terhadap negara manapun. Justru ini adalah bentuk diversifikasi hubungan luar negeri,” kata Philips.
Ia juga menekankan bahwa Indonesia tetap berada pada posisi politik luar negeri nonblok, dan membuka diri terhadap kerja sama dengan semua pihak, termasuk negara-negara besar seperti Rusia, China, dan India yang merupakan bagian penting dari dinamika global.
Mengenai isu tarif impor dari Amerika Serikat terhadap negara-negara BRICS, Philips menyampaikan bahwa Presiden Prabowo telah berhasil menurunkan tarif dari semula 32 persen menjadi 19 persen setelah negosiasi dengan Presiden Donald Trump. Hal ini dinilainya sebagai bukti bahwa Indonesia mampu menjalin hubungan strategis dengan semua pihak, termasuk AS.
“Artinya bahwa kita menjadi BRICS dilihat bukan sebagai ancaman juga untuk negara seperti Amerika Serikat,” ucap Philips.
Dengan keanggotaan BRICS, Indonesia diharapkan mampu memperkuat jaringan kerja sama ekonomi global dan memperluas peluang perdagangan internasional tanpa harus mengorbankan posisi netral dalam hubungan geopolitik.