Pemanggilan eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis, 7 Agustus 2025, menandai babak baru dalam pengusutan dugaan korupsi kuota haji khusus. Kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum administratif, tetapi mengguncang akar moralitas pengelolaan ibadah suci di negeri ini.
Ketika ibadah haji—sebuah rukun Islam yang sakral—disalahgunakan oleh kekuasaan untuk kepentingan kelompok tertentu, maka yang tercederai bukan hanya hukum, tetapi keadilan sosial dan nurani umat. Praktik semacam itu mempermalukan institusi keagamaan dan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap negara.
Berdasarkan laporan sejumlah media, kasus ini bermula dari pengaduan Gerakan Aktivis Mahasiswa UBK Bersatu (GAMBU) pada Juli 2024. Laporan itu menyoroti dugaan alokasi liar terhadap sekitar 8.400 kuota haji reguler yang dialihkan menjadi kuota haji khusus.
Padahal, Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara tegas membatasi kuota haji khusus tidak lebih dari 8 persen dari total kuota nasional. Melebihi batas itu bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan bisa menjurus pada penyalahgunaan kewenangan.
Sejak saat itu, proses penyelidikan berjalan intensif. Sejumlah tokoh telah dimintai keterangan, termasuk Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Fadlul Imansyah, dan pendakwah Khalid Basalamah.
KPK menyatakan bahwa pemanggilan Yaqut sangat penting untuk menggali sejauh mana keterlibatan otoritas tertinggi di Kementerian Agama dalam pengambilan keputusan terkait distribusi kuota. Ini merupakan tahapan krusial dalam proses penegakan hukum.
Kuota haji bukan hanya angka statistik. Ia adalah hak jutaan umat yang telah menunggu bertahun-tahun untuk menunaikan ibadah ke Tanah Suci. Setiap kursi adalah simbol dari harapan, perjuangan, dan keikhlasan umat.
Dari petani di Blora, guru di Bima, hingga nelayan di Flores—mereka menabung sedikit demi sedikit demi rukun Islam kelima. Maka, ketika kuota itu dialihkan kepada pihak tertentu, luka yang timbul tak sekadar hukum, tapi juga spiritual dan sosial.
Fenomena ini mengungkap dua masalah sekaligus. Pertama, lemahnya sistem pengawasan dalam birokrasi keagamaan yang membuka celah manipulasi. Kedua, kecenderungan politisasi terhadap pelayanan ibadah yang seharusnya steril dari praktik transaksional.
Pemerintah memiliki kewajiban moral dan hukum untuk memastikan bahwa pelayanan haji berjalan adil, transparan, dan bebas dari kepentingan kekuasaan. Kepercayaan umat tidak boleh dikorbankan demi manuver elite.
Namun, dalam sejarah panjang penegakan hukum di Indonesia, publik sudah terlalu sering menyaksikan antiklimaks. Kasus-kasus besar kerap berakhir dengan kompromi politik, penghentian perkara, atau pemutihan melalui grasi dan abolisi.
Karena itu, suara publik hari ini harus tegas: tidak boleh ada kompromi untuk dugaan korupsi kuota haji. Ini bukan pelanggaran biasa, ini menyangkut integritas ibadah dan dana umat yang dikelola negara.
Segala bentuk amnesti atau abolisi harus ditolak keras. Pemerintah dan aparat penegak hukum tidak boleh mengulang kesalahan masa lalu dengan membebaskan pelaku melalui pintu belakang kebijakan.
Presiden dan DPR—jika perkara ini masuk ke ranah politik—wajib berpihak pada keadilan publik, bukan pada kepentingan politik atau kolega dalam kekuasaan. Jika tidak, publik berhak meragukan komitmen pemberantasan korupsi.
Partai politik yang menaungi tokoh-tokoh terkait kasus ini juga harus mengambil tanggung jawab moral. Tidak cukup hanya mengatakan “kami serahkan pada proses hukum” tanpa sikap politik yang tegas.
Jika mereka sungguh ingin memulihkan kepercayaan publik, maka langkah konkret seperti penonaktifan kader, evaluasi internal, hingga dukungan terbuka terhadap penyidikan KPK harus dilakukan.
Tak kalah penting, media massa dan organisasi masyarakat sipil harus terus mengawal proses hukum ini. Kita sudah terlalu sering menyaksikan kasus besar lenyap dalam kabut waktu dan permainan lobi.
Kontrol publik dan keberanian media menjadi benteng terakhir untuk menjaga independensi hukum dari intervensi kekuasaan. Ketika lembaga politik gagal, tekanan dari masyarakat menjadi kunci perubahan.
Dari sisi hukum, penyidikan ini menjadi ujian besar bagi KPK. Lembaga antirasuah itu berada di persimpangan: tunduk pada tekanan elite atau tegak menjalankan mandat hukum secara independen.
Inilah saatnya KPK membuktikan bahwa integritas masih hidup. Bila bukti dan unsur pidana terpenuhi, maka perkara harus naik ke tahap penuntutan tanpa ragu, tanpa tawar-menawar.
Kita juga harus melihat lebih jauh: apakah sistem pengelolaan kuota dan dana haji Indonesia sudah cukup akuntabel? Hingga 2024, dana haji yang dikelola BPKH mencapai lebih dari Rp168 triliun.
Angka besar itu rawan diselewengkan jika sistemnya tak transparan. Audit publik harus dilakukan secara terbuka, dan setiap proses alokasi kuota harus bisa ditelusuri oleh masyarakat luas.
Sistem digital yang transparan dapat mencegah manipulasi kuota. Malaysia, misalnya, sudah menerapkan sistem antrean berbasis real-time, dan laporan keuangan haji mereka terbuka untuk umum.
Indonesia semestinya bisa meniru praktik baik semacam itu. Jika tidak, skandal serupa hanya soal waktu, karena celah sistemik akan terus dimanfaatkan oleh mereka yang punya kuasa.
Masyarakat juga perlu sadar bahwa keadilan tak datang dari atas. Diperlukan tekanan moral dari bawah—dari umat, media, dan organisasi keagamaan—untuk mengawal kasus ini hingga tuntas.
Apalagi menjelang pemilu, isu seperti ini rawan digunakan sebagai alat politik. Maka penting bagi publik untuk menjaga fokus pada keadilan substantif, bukan sekadar polemik partisan.
Karena dana haji bukan milik negara, bukan milik pejabat, tetapi milik umat. Pengelolaannya adalah amanah yang suci, dan pengkhianatan terhadapnya adalah perbuatan yang amat tercela.
Jika terbukti bersalah, siapa pun pelakunya harus dihukum maksimal. Tanpa pengecualian. Tanpa negosiasi. Demi keadilan, demi amanah, demi martabat umat.