Gelombang demonstrasi 25–31 Agustus 2025 meninggalkan jejak luka sosial, ekonomi, dan politik. Isu awal yang sederhana—protes atas gaji dan tunjangan DPR—berubah menjadi kerusuhan yang membakar halte TransJakarta, gerbang tol, dan fasilitas MRT. Aksi yang seharusnya menjadi kanal aspirasi rakyat justru melahirkan stigma negatif: demonstrasi dianggap merusak ketimbang menyuarakan keadilan.
Namun hingga 31 Agustus, belum ada bukti resmi siapa dalang di balik provokasi yang memicu kerusuhan. Aparat kepolisian belum mampu menyajikan identitas aktor utama, sementara berbagai narasi liar beredar di ruang publik. Situasi ini memperkuat kesan bahwa negara kalah cepat melawan hoaks, spekulasi, dan provokasi.
Beberapa laporan yang muncul memperlihatkan kabut informasi yang menyesatkan. Pertama, ajakan aksi 25 Agustus dipicu kelompok bernama Revolusi Rakyat Indonesia. Namun, serikat pekerja seperti KSPSI mengaku tidak tahu siapa penanggung jawabnya. Kelompok yang tidak jelas inilah yang memantik arus, lalu hilang dalam kabut.
Kedua, sebuah situs lokal menyebut ada oknum intelijen TNI yang diamankan saat ricuh di Pejompongan. Narasi ini beredar luas, tetapi tidak pernah diverifikasi oleh TNI maupun Polri. Publik pun dibiarkan menduga-duga, sementara aparat seolah bungkam. Padahal, isu keterlibatan oknum militer sangat sensitif dan dapat mengganggu kepercayaan terhadap institusi negara.
Ketiga, di Surabaya polisi menangkap sejumlah orang yang diduga provokator. Mereka diperiksa, tetapi identitas dan latar belakangnya tidak pernah dipublikasikan. Rakyat hanya tahu bahwa ada yang ditangkap, tanpa tahu siapa dan dari jaringan mana mereka berasal. Transparansi minim inilah yang justru melahirkan rumor liar.
Keempat, artikel di Koma.id menyoroti maraknya buzzer dan akun provokatif yang menyebar narasi adu domba. Namun, mereka pun anonim, tanpa identitas jelas. Publik hanya melihat gejala—banjir framing digital—tanpa tahu siapa aktor di balik layar. Di sinilah ruang opini publik terdistorsi oleh “pasukan siber” yang tak tersentuh hukum.
Kelima, muncul nama Salsa Erwina, disebut-sebut sebagai “provokator digital yang merusak negeri dari luar.” Namun sejauh ini, tidak ada bukti, laporan hukum, atau verifikasi resmi yang menguatkan klaim tersebut. Sosok ini bisa jadi nyata, bisa pula sekadar “hantu digital” yang sengaja dimunculkan untuk menciptakan scapegoat.
Analisis sederhana dari rangkaian fakta ini menunjukkan satu hal: belum ada satu pun identifikasi resmi yang meyakinkan publik tentang siapa dalang provokasi. Aparat gagal memberikan jawaban, sementara masyarakat dicekoki kabut spekulasi. Akibatnya, ruang demokrasi semakin keruh, dan aspirasi rakyat tertutupi oleh gosip liar.
Masalah makin rumit karena Polri terlihat gagal mengantisipasi eskalasi. Kerusuhan justru meledak di luar jam aksi utama, ketika massa damai bubar. Halte dan gerbang tol terbakar di tujuh titik berbeda, dalam waktu hampir bersamaan. Aparat yang seharusnya mampu memprediksi pola ini justru terlambat hadir. Publik wajar menilai bahwa kepolisian abai, bahkan tidak profesional.
Lebih buruk lagi, pola ini berulang di daerah lain seperti Lumajang dan Surabaya. Kelompok provokator berhasil menyusup, memantik ricuh, dan baru kemudian diamankan. Artinya, aparat tidak belajar dari kejadian pertama. Mereka hanya bergerak setelah kerusuhan meletup, bukan mencegah sebelum terjadi.
Kegagalan ini menimbulkan pertanyaan serius: di mana intelijen kepolisian? Mengapa pola yang begitu jelas—kerusuhan selepas jam aksi, serangan ke fasilitas publik, provokator tanpa korlap—tidak bisa diantisipasi? Rakyat berhak marah ketika aparat yang dibiayai dari pajak mereka justru gagal melindungi ruang demokrasi.
Karena itu, desakan agar Presiden segera mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi relevan. Di bawah kepemimpinannya, Polri berulang kali gagal meredam eskalasi secara preventif. Reputasi Polri semakin tergerus: represif kepada demonstran damai, tetapi tumpul terhadap provokator. Ketidakmampuan ini sudah melewati batas toleransi publik.
Pencopotan Kapolri bukan hanya soal individu, tetapi soal tanggung jawab institusional. Reformasi Polri mutlak diperlukan. Tanpa langkah tegas, Polri akan terus dipersepsikan sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung rakyat. Dan selama itu pula legitimasi negara akan terus terkikis.
Krisis ini juga mengajarkan bahaya disinformasi. Ketika aparat gagal memberi narasi resmi, ruang publik diisi hoaks, buzzer, dan scapegoat palsu. Publik dipaksa mengonsumsi rumor alih-alih fakta. Jika kondisi ini dibiarkan, demokrasi akan runtuh bukan oleh peluru, melainkan oleh kabut kebohongan yang menutupi kebenaran.
Solusi harus segera dilakukan. Pertama, Polri harus membuka data lengkap: siapa saja yang ditangkap, apa latar belakang mereka, dan bagaimana rantai peristiwa berlangsung. Kedua, investigasi independen perlu melibatkan Komnas HAM dan lembaga masyarakat sipil untuk memastikan transparansi. Ketiga, pemerintah harus menertibkan perang buzzer dan menindak akun-akun provokatif, bukan membiarkan mereka menunggangi keresahan rakyat.
Keempat, Presiden Prabowo harus menunjukkan keberanian politik. Ia tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan “proses hukum berjalan.” Publik menuntut tindakan nyata: mengganti Kapolri yang gagal, merombak strategi keamanan, dan memastikan Polri kembali kepada prinsip melindungi rakyat, bukan elite.
Akhirnya, pertanyaan “siapa dalang” mungkin akan terjawab suatu hari lewat investigasi serius. Tetapi pertanyaan “siapa gagal melindungi rakyat” jawabannya sudah jelas: aparat kepolisian di bawah Jenderal Listyo Sigit. Jika Presiden terus mempertahankan Kapolri yang gagal, maka ia akan ikut menanggung beban kegagalan itu.
Sejarah mengajarkan, negara runtuh bukan hanya karena musuh dari luar, tetapi karena ketidakmampuan pemimpinnya membaca tanda zaman. Prabowo harus memilih: menegakkan demokrasi dengan tindakan tegas, atau membiarkan kabut hoaks dan provokasi melumpuhkan legitimasi pemerintahannya sendiri.