Suksesi butuh jarak tegas. Setelah dua periode berkuasa, Joko Widodo mestinya naik kelas menjadi negarawan yang memberi ruang bagi Presiden Prabowo memimpin tanpa bayangan. Namun gelombang opini publik menunjukkan sebaliknya. Nama Jokowi terus hadir dalam percaturan kebijakan dan manajemen kekuasaan.
Bagi banyak warga, ini bukan sekadar drama “adu domba” antarelite. Mereka melihat campur tangan berlebihan sebagai akar kebuntuan. Pemerintahan baru kehilangan kebebasan manuver karena masih terikat jaringan lama. Hasilnya adalah kebijakan ragu-ragu dan komunikasi yang tidak padu.
Mengapa Jokowi tetap termotivasi ikut campur? Pertama, motif melindungi warisan. Ada proyek raksasa yang menuntut kesinambungan, dari infrastruktur hingga agenda hilirisasi. Di satu sisi, kontinuitas diperlukan. Di sisi lain, kontrol berlebihan membuat publik curiga bahwa “warisan” berubah menjadi kendali.
Kedua, motif manajemen risiko hukum. Periode sebelumnya menyisakan perkara yang disorot, seperti tata niaga timah, tata kelola kuota haji, penyaluran bantuan sosial, dan transaksi di BUMN dan proyek strategis. Banyak temuan sudah jadi konsumsi publik, sebagian masih tahap penyelidikan, sebagian lain mentok di tataran politik. Di mata warga, keterlambatan kejelasan hukum memelihara kecurigaan.
Ketiga, motif keluarga dalam kekuasaan. Kehadiran Wakil Presiden Gibran mempertebal dugaan konflik kepentingan. Di negara demokrasi, keluarga pejabat boleh berkarier. Namun etika menuntut pemisahan kepentingan. Tanpa pagar yang jelas, setiap keputusan Prabowo akan dituduh berkelindan dengan rencana keluarga Jokowi.
Keempat, motif jaringan dan patronase. Jabatan strategis, komisaris, hingga proyek pemerintah sering punya ekosistem loyalis. Jaringan ini ingin bertahan ketika rezim berganti. Jika Presiden baru tidak segera membenahi, rantai patronase lama akan terus memengaruhi kebijakan melalui “orang-orang di dalam”.
Kelima, motif kendali narasi. Setelah unjuk rasa Agustus, panggung opini dipenuhi framing saling menyalahkan. Sebagian elite menyebut ada upaya mengadu Jokowi dan Prabowo. Publik justru membaca sederhana: mereka tidak ingin mantan presiden terlihat mengarahkan pemerintahan dari balik layar.
Di titik ini, sederet dugaan publik berkelindan dengan peristiwa faktual yang memperburuk trust. Penanganan perkara tata niaga mineral, termasuk timah, dipandang lamban dan tidak komunikatif. Kebijakan kuota haji disorot karena persepsi ketidakadilan dan transaksi politik. Bantuan sosial sering diperdebatkan kaitannya dengan siklus elektoral. Semua ini mempertebal pandangan bahwa rezim lama masih punya “PR hukum” yang belum tuntas.
Ada pula tuduhan kriminalisasi yang muncul terhadap figur oposisi atau kritikus. Nama-nama seperti Tom Lembong dan Anies Baswedan kerap disebut dalam diskursus publik, dengan ragam narasi, bantahan, dan proses hukum yang tak selalu konsisten di mata warga. Editorial ini tidak memvonis benar-salah. Poinnya: ketika hukum tampak selektif dan elastis, persepsi intervensi politik menemukan panggungnya.
Faktanya, kelembagaan penegakan hukum kita belum steril. KPK melewati fase pelemahan yang nyata. Polisi dan jaksa masih rentan tarik-menarik kepentingan. Dalam tata kelola seperti ini, mantan presiden punya insentif untuk menjaga pengaruh—minimal demi memastikan perkara tidak melebar ke lingkar terdalamnya.
Dampak sosial-politiknya serius. Publik kian sinis melihat istana dan parlemen sebagai arena kompromi elit, bukan masalah rakyat. Setiap kebijakan ekonomi, pajak, subsidi, harga energi, mudah dicurigai sebagai perpanjangan kepentingan lama. Kepercayaan runtuh, protes meluas, dan jalan raya menjadi kanal koreksi kebijakan yang brutal.
Secara ekonomi, investor membaca sinyal ambigu. Mereka butuh kepastian arah dan stabilitas institusi. Jika bayangan rezim lama dianggap ikut mengendalikan, risiko policy reversal dan regulatory capture meningkat. Biaya modal naik, keputusan investasi ditunda, dan lapangan kerja terhambat.
Secara budaya politik, keterlekatan pemimpin pada kekuasaan pascajabatan adalah gejala personalisasi negara. Demokrasi menuntut pembatasan—dua periode selesai, lalu mundur ke barisan penasehat tanpa akses komando. Jika tradisi ini gagal dibangun, kita akan hidup dalam pola dinasti dan patronase yang sulit diputus.
Apakah semua kecurigaan publik pasti benar? Tidak. Tetapi beban pembuktian bukan pada rakyat. Bebannya ada pada negara dan aktor-aktor kunci untuk membuka fakta, menjaga jarak, dan menjamin proses hukum bebas intervensi. Tanpa itu, rumor selalu menang atas klarifikasi.
Apa yang harus dilakukan sekarang? Pertama, Prabowo menegakkan garis demarkasi. Pastikan setiap pejabat hanya tunduk pada Presiden dan hukum, bukan pada patron lama. Bentuk firewall etis: pembatasan pertemuan, notulen terbuka, dan pelaporan rutin interaksi dengan mantan presiden, keluarga, serta jejaringnya.
Kedua, lakukan perombakan kabinet dan top post yang jelas berpolemik atau gagal selaras dengan visi pemerintahan kini. Loyalitas pada agenda baru adalah syarat minimal. Pengalaman tidak boleh jadi tameng untuk mempertahankan pengaruh di luar struktur.
Ketiga, tegakkan aturan konflik kepentingan untuk seluruh pejabat, termasuk Wakil Presiden, pada isu yang berkaitan langsung dengan keluarga atau jaringan politik mantan presiden. Skema recusal dan independent review harus dilembagakan, bukan sekadar komitmen lisan.
Keempat, bentuk Tim Independen lintas lembagadengan mandat, tenggat, dan akses data, untuk mengaudit perkara warisan: tata niaga timah, tata kelola kuota haji, bansos, dan transaksi BUMN. Libatkan Komnas HAM, PPATK, akademisi, dan masyarakat sipil. Publikasikan temuan secara berkala dalam dashboard keterbukaan.
Kelima, pulihkan KPK dan ekosistem penegakan hukum. Perkuat payung etik, batas intervensi eksekutif, perlindungan saksi dan pelapor, serta pengawasan publik. Tanpa rule of law yang kredibel, setiap pergantian rezim hanya mengganti figur, bukan memperbaiki sistem.
Keenam, hentikan politik buzzer yang merusak rasionalitas warga. Negara harus mengakui ada jejak kampanye gelap di ruang digital, lalu menertibkannya dengan standar transparansi pendanaan komunikasi pemerintah. Ruang publik harus kembali pada fakta, bukan framing.
Ketujuh, dorong peran kenegarawanan Jokowi. Mantan presiden berhak bersuara, tetapi berkewajiban menjaga jarak institusional. Berkontribusi pada diplomasi dan kerja sosial sah-sah saja. Mengarahkan jalannya pemerintahan, secara langsung atau melalui titipan, adalah garis merah yang tidak boleh dilanggar.
Kedelapan, bangun kontrak politik baru antara Presiden dan rakyat. Sampaikan peta jalan pemutusan patronase: jadwal evaluasi, indikator kinerja, dan mekanisme koreksi kebijakan. Ketika warga melihat kemajuan terukur, ruang bagi kecurigaan menyempit dengan sendirinya.
Pada akhirnya, ini bukan soal Prabowo versus Jokowi. Ini soal tata kelola republik. Jika mantan presiden tetap mengendap di inti pengambilan keputusan, suksesi hanya kosmetik. Negara tampak bergerak, tetapi sesungguhnya berjalan di tempat, disandera masa lalu yang enggan pergi.
Mari kita ambil sikap tegas. Bayang campur tangan harus diakhiri. Bukan dengan saling menista, melainkan dengan pemisahan peran, transparansi proses, dan penegakan hukum yang tak pandang bulu. Hanya itu jalan untuk menutup bab kecurigaan dan membuka lembar kerja pemerintahan baru.
Jika langkah-langkah ini ditempuh, Jokowi akan dikenang sebagai negarawan yang tahu berhenti pada waktunya. Prabowo akan diingat sebagai presiden yang berani memutus patronase dan mengembalikan kepercayaan. Dan rakyat akhirnya merasakan bahwa suara mereka pada pemilu bukan cek kosong, melainkan mandat yang dihormati.