Jakarta – Dunia kerja kembali bergolak. Di tengah stagnasi lapangan kerja formal, muncul profesi baru yang sedang viral di kalangan generasi muda: Clipper. Mereka adalah para penyunting video pendek yang mampu mengubah cuplikan podcast menjadi konten viral di platform seperti TikTok, YouTube Shorts, dan Instagram Reels. Fenomena ini mencuat setelah beberapa warganet membagikan kisah clipper berpenghasilan hingga Rp50 juta per bulan hanya bermodal laptop dan keterampilan mengedit dari kamar tidur.
Profesi ini menjadi sorotan setelah video dari akun Labs KLV di media sosial menampilkan perdebatan hangat antara pekerja profesional dan lulusan SMA yang sukses di dunia digital. “Apakah nilai ijazah formal masih relevan ketika keterampilan digital baru bisa menghasilkan uang fantastis?” demikian kutipan yang memicu diskusi sengit di kolom komentar.
Seorang clipper bertugas memotong dan menyunting video berdurasi panjang, seperti siaran langsung atau podcast, menjadi potongan pendek yang menarik dan mudah viral. Potongan tersebut kemudian disebarluaskan ke berbagai platform sosial media untuk mendongkrak popularitas kreator asli maupun merek yang bekerja sama.
Salah satu platform yang memfasilitasi profesi ini adalah Wefluence, yang sebelumnya dikenal sebagai penghubung antara brand dan kreator konten. Kini, platform tersebut memperluas layanan untuk mengelola jaringan clipper profesional. Sistem pembayaran mereka pun fleksibel, biasanya menggunakan skema “pay-per-1.000-views” atau bayar per seribu tayangan, bukan gaji tetap bulanan.
“Pekerjaan ini membuka peluang bagi siapa pun yang kreatif dan mau belajar, tanpa perlu gelar tinggi,” ujar Dimas Prakoso, salah satu clipper berusia 21 tahun yang sudah dua tahun bekerja secara lepas. Ia mengaku bisa memperoleh pendapatan antara Rp20 juta hingga Rp60 juta per bulan, tergantung jumlah video dan performa tayangan.
Namun, fenomena ini juga memicu kontroversi. Sebagian kalangan akademisi menilai tren tersebut sebagai gejala disrupsi ekonomi digital yang mengguncang tatanan kerja konvensional. “Kita menyaksikan pergeseran nilai: keterampilan praktis lebih dihargai daripada ijazah formal. Ini sekaligus peluang, tapi juga ancaman bagi struktur ekonomi lama,” kata Dr. Fajar Nugraha, ekonom dari Universitas Indonesia.
Para pengamat menyebut gejala ini sebagai bentuk “ekonomi perhatian” sebuah sistem di mana perhatian publik menjadi sumber nilai ekonomi baru. Di sisi lain, sebagian pihak skeptis menganggapnya sebagai anomali yang sulit diandalkan dalam jangka panjang, mengingat ketidakstabilan algoritma dan tren media sosial yang cepat berubah.
Meski menimbulkan pro dan kontra, fenomena clipper menunjukkan bahwa era digital benar-benar telah mendemokratisasi peluang ekonomi. Dunia kerja kini tak lagi ditentukan oleh gelar, melainkan oleh kreativitas, adaptasi, dan kecepatan mengikuti perubahan zaman.
