Mimika – “Gunung emas tak selalu berarti kesejahteraan,” begitulah ironi yang mengemuka dari Papua Tengah. Di balik kilau tambang raksasa, laporan laba PT Freeport Indonesia tahun 2024 memantik perdebatan tajam.
Perusahaan tambang emas dan tembaga itu membukukan keuntungan sekitar Rp67 triliun, namun setoran ke pemerintah pusat dan daerah disebut hanya berkisar Rp7 triliun, angka yang dinilai tak sebanding dengan kepemilikan saham Indonesia yang mencapai 51 persen.
Data tersebut memicu sorotan para ekonom. Siapa yang diuntungkan, apa yang dibagi, kapan dan bagaimana mekanisme pembagian dilakukan, serta mengapa selisihnya begitu besar, menjadi pertanyaan publik.
Sorotan menguat karena pemerintah Indonesia secara resmi memegang saham mayoritas di PT Freeport Indonesia, yang beroperasi di Kabupaten Mimika, Papua Tengah, dengan kontrak dan skema bagi hasil yang seharusnya berpihak pada kepentingan nasional dan daerah penghasil.
“Jika benar laba sebesar itu hanya menghasilkan setoran sekitar Rp7 triliun untuk negara, maka ada yang tidak beres dalam tata kelola pembagian keuntungan,” ujar Fahmy Radhi, pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, saat dihubungi di Jakarta pada Sabtu (27/12/2025).
Ia menilai, sebagai pemegang saham mayoritas, Indonesia semestinya memperoleh porsi dividen yang jauh lebih besar.
Menurutnya, perbedaan mencolok antara laba bersih perusahaan dan setoran ke negara membuka ruang dugaan manipulasi atau setidaknya ketimpangan struktur pengendalian perusahaan.
Fahmy juga mendorong pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang posisi Freeport sebagai pemegang saham pengendali.
Ia menilai langkah tegas diperlukan agar kepentingan negara tidak terus tergerus dalam pengelolaan sumber daya alam strategis.
Sorotan serupa datang dari ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat, Gede Sandra. Ia mencatat bahwa dari total laba Rp67 triliun, bagian pemerintah pusat dan daerah hanya sekitar Rp7,73 triliun atau kurang dari 12 persen.
Angka tersebut, menurutnya, jauh dari harapan logis kepemilikan 51 persen saham. “Idealnya, negara bisa memperoleh setidaknya separuh laba, atau sekitar Rp34 triliun,” ujarnya.
Gede menambahkan, jika penerimaan negara mendekati angka tersebut, sebagian besar dana bisa diarahkan untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua Tengah yang selama ini berada di sekitar wilayah tambang, termasuk Kabupaten Mimika dan kabupaten lain di provinsi tersebut.
Pihak Freeport sendiri menyatakan bahwa perusahaan telah menjalankan kewajiban secara transparan dan akuntabel.
Manajemen menyebut setoran tersebut merupakan bagian dari keuntungan bersih yang dibagikan sesuai ketentuan, di luar pajak, royalti, dividen, dan pungutan lain yang secara total diklaim mencapai puluhan triliun rupiah sepanjang 2024.
Meski demikian, polemik ini menunjukkan bahwa persoalan bukan semata soal angka, melainkan rasa keadilan. Ketika kekayaan alam dikeruk dari tanah Papua, harapan publik adalah manfaat terbesar kembali ke rakyat, bukan hanya tercatat dalam laporan keuangan.
Di tengah perdebatan yang terus bergulir, satu hal mengemuka: tuntutan agar pengelolaan tambang Freeport lebih berpihak pada kepentingan nasional dan kesejahteraan masyarakat Papua kian sulit diabaikan.
