Demokrasi adalah soal keseimbangan. Revisi UU TNI berisiko mengganggu keseimbangan itu. Salah satu poin krusial adalah perluasan peran militer aktif dalam jabatan sipil. Jika diterapkan, kebijakan ini bisa mengembalikan Dwifungsi ABRI.
Konsep ini pernah mendominasi pemerintahan Orde Baru. Dampaknya buruk bagi hak asasi manusia dan demokrasi. Reformasi 1998 telah memisahkan militer dari urusan sipil. UU TNI 2004 dibuat untuk memastikan hal ini. Namun, kini pemerintah justru ingin merevisinya.
Saat ini, ada 2.569 prajurit aktif yang menduduki jabatan sipil. Jika revisi ini disahkan, jumlahnya akan meningkat drastis. Mereka bisa ditempatkan di 16 kementerian dan lembaga. Beberapa di antaranya adalah Kejaksaan Agung dan BNPT.
Revisi ini juga memperpanjang usia pensiun perwira menjadi 60 tahun. Ini bisa menambah kepadatan struktur TNI. Regenerasi di tubuh militer juga bisa terhambat. Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga berisiko mengulang kesalahan sejarah.
Dwifungsi ABRI di masa lalu menciptakan dominasi militer dalam pemerintahan. Mereka memegang kendali di banyak sektor. Mulai dari politik, hukum, ekonomi, hingga sosial. Konsekuensinya, demokrasi melemah dan korupsi merajalela.
Kini, kekhawatiran itu kembali muncul. Penempatan TNI di Kejaksaan Agung bisa mengganggu independensi hukum. Keterlibatan mereka di lembaga sipil bisa mengaburkan batas kekuasaan. Jika ini terjadi, supremasi sipil akan melemah.
Perubahan lain dalam revisi ini juga berbahaya. Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menjadi tugas TNI akan bertambah dari 14 menjadi 17. Salah satu tugas baru TNI adalah menangani masalah narkoba. Ini bisa tumpang-tindih dengan tugas Polri.TNI juga akan terlibat dalam keamanan siber.
Ini berarti mereka akan memiliki peran dalam mengawasi dunia digital. Tanpa regulasi yang jelas, ini bisa berpotensi membatasi kebebasan berekspresi. Pengawasan siber seharusnya tetap berada di bawah lembaga sipil.
Selain itu, anggaran pertahanan bisa semakin terbebani. Perpanjangan usia pensiun butuh tambahan anggaran besar. Setidaknya Rp120 miliar per tahun hanya untuk gaji pokok perwira yang masa dinasnya diperpanjang. Ini belum termasuk tunjangan dan fasilitas lainnya.
Jika dana tersedot untuk gaji, modernisasi alutsista bisa terhambat. Padahal, Indonesia masih tertinggal dalam pengadaan teknologi pertahanan. Banyak alat utama sistem senjata (alutsista) yang sudah usang dan butuh pembaruan segera.
Di sisi lain, pembahasan revisi ini dilakukan dengan tergesa-gesa. DPR menargetkan revisi selesai sebelum masa reses. Rapat dilakukan tertutup di hotel mewah. Masyarakat sipil memprotes keras kurangnya transparansi dalam proses ini.
Partisipasi publik seharusnya menjadi prioritas. Isu sebesar ini menyangkut masa depan demokrasi. Jika revisi ini disahkan tanpa perdebatan yang matang, dampaknya bisa jangka panjang. Reformasi yang telah diperjuangkan selama 25 tahun bisa terancam.
Demokrasi harus dijaga. Reformasi adalah hasil perjuangan panjang. Jika revisi ini disahkan, kita harus bertanya: Apakah kita sedang maju, atau justru mundur ke masa kelam?