Polemik bendera bajak laut tiba-tiba menjadi sorotan nasional menjelang peringatan HUT RI ke-80. Simbol Jolly Roger Topi Jerami dari serial One Piece—ikon budaya pop asal Jepang—berkibar di berbagai tempat.
Dari kendaraan pribadi, tiang rumah, hingga berdampingan dengan Merah Putih. Fenomena ini, yang viral sejak awal Agustus 2025, menyulut kontroversi hebat.
Negara merespons dengan razia, penyitaan, hingga peringatan hukum. Seolah-olah simbol fiksi tersebut merupakan ancaman nyata terhadap kedaulatan negara.
Respons ini justru memancing lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Amnesty International Indonesia mencatat bahwa langkah-langkah aparat telah melampaui batas yang wajar.
Termasuk penertiban mural dan sweeping bendera bajak laut di sejumlah daerah. Mereka menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.
Fakta ini menunjukkan betapa tipisnya toleransi negara terhadap simbol alternatif. Terutama yang dibaca sebagai suara ketidakpuasan, khususnya dari generasi muda.
Di sisi lain, pemerintah bersikukuh bahwa tindakan tegas diperlukan. Melalui Menko Polhukam, negara menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece bisa melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Apalagi bila ditempatkan di bawah Merah Putih. Posisi ini diperkuat oleh pasal-pasal yang menegaskan larangan memperlakukan simbol negara secara tidak hormat.
Namun, pendekatan legal-formal ini mengabaikan konteks sosial dan niat dari pengibar bendera itu sendiri.
Ironisnya, saat pemerintah membantah telah memerintahkan sweeping secara menyeluruh, aparat di lapangan tetap melakukan penyitaan dan penurunan bendera.
Di Tuban dan Sragen, warga yang menggambar mural atau mengibarkan bendera fiksi mendapat tekanan. Ini memperlihatkan disonansi antara narasi pejabat pusat dan aksi di lapangan.
Satu sisi ingin tampil bijak, sisi lain represif. Tidak mengherankan bila publik membaca ini sebagai bentuk ketakutan simbolik.
Bukan pertahanan prinsipil atas kehormatan negara, melainkan cerminan kecemasan politik.
Ketakutan ini juga digaungkan oleh sebagian politisi. Narasi bahwa pengibaran bendera bajak laut adalah “provokasi” atau “upaya menjatuhkan pemerintah” muncul dari sejumlah anggota DPR.
Sebagian bahkan menyebutnya sebagai ancaman terhadap stabilitas nasional. Framing seperti ini hanya memperbesar kesan paranoid.
Padahal, tidak ada bukti konkret bahwa aksi simbolik ini diarahkan untuk menggulingkan kekuasaan atau menggantikan identitas nasional.
Yang justru menarik adalah analisis dari kalangan akademisi. Seorang dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya menafsirkan fenomena ini sebagai ekspresi kegelisahan anak muda yang merasa tidak didengar.
Bendera Topi Jerami dipahami sebagai lambang perlawanan terhadap otoritas yang dianggap tidak adil. Sebuah resonansi yang memang melekat dalam cerita One Piece.
Dalam konteks ini, simbol fiksi menjadi medium pesan sosial. Bentuk kritik yang tidak frontal, namun cukup mengganggu sistem yang terlalu sensitif.
Di antara kecaman dan razia, muncul pula diskursus hukum yang memperlihatkan ambiguitas.
Media seperti Hukumonline menjelaskan bahwa UU 24/2009 memang melarang simbol negara diposisikan di bawah lambang lain.
Namun, yang diatur secara eksplisit adalah posisi Merah Putih terhadap lambang negara lain—bukan bendera fiksi.
Ini menempatkan perdebatan pada wilayah tafsir, bukan pelanggaran absolut.
Artinya, isu utamanya bukan pada keberadaan bendera One Piece. Melainkan pada tata letaknya yang dipersoalkan ketika bersanding dengan Merah Putih.
Amnesty dan kelompok pro-ekspresi menegaskan bahwa tindakan warga mengibarkan bendera fiksi bukanlah makar atau penghinaan terhadap negara.
Tetapi ekspresi damai yang dijamin oleh konstitusi dan instrumen internasional seperti ICCPR.
Pendekatan ini menuntut negara agar tidak gegabah dalam merespons ekspresi budaya pop.
Dan mempertimbangkan porsi kebebasan sipil yang seharusnya dilindungi, bukan dicurigai.
Di sisi lain, masyarakat yang kontra mengingatkan bahwa momen peringatan kemerdekaan adalah ruang sakral.
Yang semestinya steril dari simbol lain. Namun argumen ini menjadi lemah saat disandingkan dengan fakta bahwa ekspresi tersebut lahir dari kecintaan terhadap kebebasan.
Bukan penghinaan terhadap kemerdekaan. Justru kemerdekaan yang sejati memungkinkan ruang kritik. Bahkan dalam bentuk yang tidak konvensional.
Fenomena bendera Jolly Roger Topi Jerami seharusnya dibaca sebagai sinyal sosial. Bukan sebagai perlawanan politis.
Negara yang percaya diri tidak akan terancam oleh simbol fiksi.
Sebaliknya, negara yang panik terhadap bentuk ekspresi semacam ini justru sedang menunjukkan krisis kepercayaan.
Baik terhadap rakyatnya sendiri maupun terhadap kekuatan simbol negara itu sendiri.
Bila simbol negara kuat, ia tidak akan goyah hanya karena selembar kain bergambar tengkorak.
Kesimpulannya, negara tidak perlu takut pada bendera fiksi.
Ketakutan berlebihan hanya memperlihatkan ketidakdewasaan dalam memahami dinamika sosial generasi muda.
Negara seharusnya mendengar, bukan membungkam.
Membuka ruang dialog, bukan menebar ancaman hukum.
Menghormati simbol negara tidak harus berarti memusuhi simbol budaya populer.
Di era digital dan hiper-ekspresif ini, tugas negara bukan menjadi polisi simbol.
Melainkan penjaga akal sehat dan kebebasan.