Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Coba Vaksin? Wakil Rakyat Dulu!

Kalau mereka mewakili kita untuk gaji dan fasilitas, mestinya mereka juga mewakili dalam menanggung risiko publik.
Udex MundzirUdex Mundzir1 Juni 2025 Editorial
Wakil Rakyat dan Uji Coba Vaksin TBC di Indonesia
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Ada yang ganjil tapi sudah dianggap biasa. Setiap kali negara butuh sukarelawan untuk uji coba vaksin, yang dicari adalah masyarakat umum. Orang-orang biasa. Warga sipil yang barangkali bahkan tidak tahu secara rinci apa isi vaksinnya, bagaimana risikonya, atau apa implikasinya jangka panjangnya.

Baru-baru ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) membuka pendaftaran 2.000 sukarelawan untuk uji coba vaksin TBC (Tuberkulosis) yang didukung oleh Bill & Melinda Gates Foundation. Vaksin ini adalah bagian dari upaya global mengatasi penyakit menular yang masih jadi momok di banyak negara berkembang.

Namun, yang menarik bukan soal vaksinnya. Tapi siapa yang diminta untuk ikut uji coba: masyarakat. Bukan pejabat. Bukan elite. Dan tentu saja, bukan para wakil rakyat.

Padahal, jika berbicara dalam kerangka representasi, bukankah mereka—anggota DPR, DPD, DPRD, bahkan MPR—yang selalu menyebut diri sebagai “wakil rakyat”?

Lantas, jika ada risiko, mengapa rakyat yang harus lebih dulu mewakili?

Pertanyaan ini sederhana, tapi punya makna yang dalam. Karena kita tahu: ketika giliran pembagian fasilitas, mereka ada di barisan depan.

Mereka dapat tunjangan rumah, mobil dinas, dana aspirasi, perjalanan luar negeri, bahkan pengamanan khusus. Mereka juga punya ruang kerja mewah, gaji tinggi, dan berbagai fasilitas kelas satu yang sulit dibayangkan oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Semua itu diterima atas nama “wakil rakyat”.

Tapi ketika negara butuh sukarelawan untuk sesuatu yang mengandung risiko—seperti uji coba vaksin—mengapa tiba-tiba rakyat yang didorong ke depan?

Inilah titik persoalan yang mengguncang rasa keadilan.

Sebagai negara demokrasi, kita membanggakan sistem perwakilan. Tapi sistem ini seolah hanya bekerja satu arah. Dalam hal keuntungan, para wakil rakyat dengan cepat mengklaim hak. Tapi dalam hal risiko, mereka menghilang dari panggung.

Padahal, menjadi wakil rakyat bukan hanya soal mengambil keputusan atas nama publik. Tapi juga soal berbagi beban, berbagi risiko, berbagi kenyataan.

Bayangkan jika para anggota DPR dan DPD ikut secara terbuka dalam uji coba vaksin ini. Tidak hanya menyatakan dukungan lewat konferensi pers, tetapi betul-betul ikut mendaftarkan diri.

Apa yang akan terjadi? Setidaknya ada dua dampak positif.

Pertama, rasa keadilan publik akan pulih. Rakyat akan merasa bahwa para wakilnya tidak hanya pandai bicara, tapi juga berani ambil peran dalam situasi sulit.

Kedua, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap vaksin akan meningkat drastis. Jika publik melihat bahwa para pejabat tinggi ikut serta dalam uji coba, maka keraguan yang selama ini menghambat program vaksinasi bisa berkurang.

Selama ini, masyarakat sering jadi objek uji coba tanpa merasa memiliki kuasa. Banyak yang hanya ikut karena dibujuk, diberi insentif kecil, atau karena ketidaktahuan.

Tentu, dalam praktiknya, uji coba vaksin memiliki standar etika yang ketat. Tidak boleh sembarang orang dipaksa. Semua harus bersifat sukarela. Itu prinsip global.

Namun di luar kerangka prosedural itu, ada satu hal yang jauh lebih penting: legitimasi moral.

Jika negara meminta rakyat untuk “berpartisipasi” dalam uji coba yang masih belum final, maka negara juga harus menunjukkan bahwa mereka yang duduk di atas punya keberanian yang sama.

Sebab kepercayaan publik bukan dibangun oleh seminar. Tapi oleh teladan.

Dan inilah krisis kita hari ini: terlalu banyak teori, terlalu sedikit teladan.

Kita sudah terlalu lama menyaksikan para wakil rakyat hanya menjadi simbol saat peresmian, saat pemotongan pita, saat duduk di panggung kehormatan. Tapi tidak terlihat ketika rakyat butuh pembelaan, perlindungan, dan rasa aman.

Inilah saatnya mereka membuktikan: apakah mereka sungguh “wakil rakyat” atau sekadar penikmat status.

Mereka yang berani menerima mobil dinas baru seharusnya juga berani menerima dosis pertama vaksin uji coba.

Mereka yang rela memperjuangkan kenaikan tunjangan semestinya juga rela menunjukkan keberanian dalam hal kesehatan publik.

Jika tidak, maka status “wakil rakyat” hanyalah kedok untuk mengelabui demokrasi.

Rakyat tidak butuh perwakilan yang hanya hadir saat acara formal. Rakyat butuh perwakilan yang hadir saat nyawa dan kesehatan jadi taruhan.

Karena jika yang “mewakili” hanya dalam hal keuntungan, dan yang “diwakili” justru yang menanggung risiko, maka demokrasi telah kehilangan makna dasarnya.

Maka wajar jika muncul ide satiris: biarkan 2.000 wakil rakyat itu menjadi sukarelawan vaksin. Kalau mereka tidak bersedia, silakan ajukan surat pengunduran diri.

Bangsa ini tidak kekurangan tenaga medis, ilmuwan, atau pejabat yang berintegritas. Tapi kita kekurangan keberanian di level pengambilan keputusan.

Saatnya mengubah arah. Jadikan wakil rakyat benar-benar perwakilan, bukan sekadar pelabelan.

Kalau mereka bisa mewakili kita dalam menerima fasilitas, maka mereka juga harus bersedia mewakili kita dalam risiko.

BPOM TBC Indonesia Uji Coba Vaksin Vaksin Bill Gates wakil rakyat
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleJangan Normalisasi Israel
Next Article Kemenag Tegaskan Belum Ada Kepastian Pembukaan Visa Furoda

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

5 Tips Efektif Mengatur Waktu Selama Ramadhan

Islami Alfi Salamah

Hindari 5 Jenis Orang Ini Jika Ingin Sukses dalam Bisnis

Bisnis Assyifa

Keindahan Gunung Fuji di Jepang, Pesona Alam yang Tak Tertandingi

Travel Alfi Salamah

Gelar Akademik dan Integritas Pejabat Publik

Editorial Udex Mundzir

Ayi Mulyana: Membangun Pramuka yang Berkontribusi Nyata

Profil Silva
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.