Memiliki nama yang umum di Indonesia adalah hal biasa. Nama seperti “Putri,” “Rizki,” atau “Dewi” sering ditemui di berbagai lingkungan, mulai dari sekolah hingga tempat kerja. Namun, di balik kemudahan pengucapan dan penerimaan sosial, memiliki nama yang terlalu pasaran dapat membawa dampak psikologis bagi pemiliknya.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa nama seseorang dapat memengaruhi cara mereka memandang diri sendiri serta bagaimana orang lain mempersepsikannya. Nama yang umum dapat memberikan rasa kebersamaan, tetapi di sisi lain, juga bisa menghilangkan perasaan unik dan istimewa.
Menurut Laura Wattenberg, pendiri situs penamaan bayi Baby Name Wizard, tren pemberian nama telah berubah dalam beberapa dekade terakhir. Jika dulu banyak orang tua memilih nama yang umum agar anaknya lebih mudah diterima, kini semakin banyak yang memilih nama unik agar anak mereka menonjol.
“Orang tua sekarang khawatir anak mereka menjadi terlalu biasa-biasa saja,” ujar Wattenberg dalam sebuah wawancara.
Di Indonesia, nama yang umum bisa menjadi keuntungan dalam beberapa aspek. Misalnya, nama seperti “Rizki” atau “Dewi” tidak langsung menunjukkan latar belakang etnis atau agama seseorang, sehingga memudahkan adaptasi di lingkungan yang beragam. Namun, bagi sebagian individu, memiliki nama yang pasaran bisa menimbulkan krisis identitas.
Fajar, seorang karyawan swasta di Jakarta, menceritakan pengalamannya tumbuh dengan nama yang banyak dimiliki orang lain.
“Saat kecil, saya sering dipanggil dengan tambahan nama belakang karena banyak teman sekelas yang bernama sama. Awalnya, saya merasa biasa saja, tetapi lama-kelamaan saya berpikir bahwa nama saya tidak spesial,” ungkapnya.
Dalam dunia akademik dan profesional, nama yang terlalu umum bisa menjadi tantangan tersendiri. Sebuah studi yang dilakukan di Harvard Business School menemukan bahwa individu dengan nama yang lebih unik cenderung lebih mudah diingat dalam proses rekrutmen kerja. Hal ini karena nama yang berbeda dari kebanyakan orang lebih cepat menarik perhatian.
Namun, tidak semua orang melihatnya sebagai kekurangan. Beberapa komunitas justru menggunakan kesamaan nama sebagai simbol persaudaraan. Di Indonesia, fenomena seperti “Agus-Agus Bersaudara Indonesia” menunjukkan bahwa memiliki nama yang umum juga bisa menjadi sumber kebersamaan dan kebanggaan.
Selain itu, faktor budaya juga memengaruhi tren pemberian nama. Banyak orang tua memilih nama netral agar anak-anak mereka lebih mudah diterima di lingkungan baru. Misalnya, keluarga dari daerah yang pindah ke kota besar cenderung memberikan nama yang lebih umum agar anaknya tidak mengalami kesulitan dalam beradaptasi.
Dari sudut pandang psikologi sosial, nama bukan sekadar identitas, tetapi juga bisa mempengaruhi kepercayaan diri dan interaksi sosial seseorang. Beberapa studi menunjukkan bahwa individu dengan nama yang lebih mudah diucapkan cenderung mendapat respons lebih positif dalam komunikasi profesional maupun sosial.
Meski begitu, tidak sedikit pula yang merasa memiliki nama umum justru memberikan kebebasan. Nama yang tidak terlalu unik memungkinkan seseorang untuk tidak terikat pada ekspektasi tertentu atau stereotip sosial yang melekat pada nama-nama tertentu.
Sebuah studi dari University of California, San Diego, menemukan bahwa individu dengan nama yang lebih umum cenderung lebih mudah diterima di lingkungan kerja yang konservatif, dibandingkan dengan mereka yang memiliki nama yang dianggap terlalu unik atau tidak lazim.
Pada akhirnya, dampak psikologis dari memiliki nama yang umum bergantung pada bagaimana seseorang memaknainya. Bagi sebagian orang, nama yang familiar memberikan rasa nyaman dan mudah diterima di lingkungan sosial. Namun, bagi yang lain, memiliki nama yang pasaran bisa menjadi tantangan dalam membangun identitas unik.
Dengan semakin berkembangnya tren pemberian nama yang lebih personal dan unik, ke depannya mungkin akan semakin banyak orang yang memilih untuk menyesuaikan atau bahkan mengganti nama mereka demi memperkuat identitas diri.