Indonesia adalah negeri kaya sumber daya. Emas, nikel, batu bara, hingga timah tersedia melimpah dari ujung Sumatra hingga Papua.
Tapi, rakyat di sekitar tambang tetap hidup dalam kemiskinan, tanpa akses air bersih, tanpa sekolah layak, dan jalan rusak parah.
Mengapa bisa terjadi? Karena yang paling menikmati tambang bukan rakyat. Bukan juga negara. Tapi sekelompok kecil yang disebut: mafia lokal.
Mereka bukan kriminal biasa. Mereka adalah kekuatan tak terlihat, namun sangat nyata dalam setiap kebijakan daerah.
Mereka duduk di balik meja pengambilan keputusan. Tapi tak pernah tercantum di struktur pemerintahan.
Mereka tak pernah kampanye. Tak perlu baliho. Tapi pejabat resmi—termasuk gubernur—tunduk pada mereka.
Mereka adalah “gubernur bayangan” yang memegang kuasa lebih besar dari gubernur yang terpilih secara sah.
Dalam acara peresmian tambang, mereka ada di barisan depan. Tersenyum lebar sambil memotong pita bersama pejabat formal.
Sementara masyarakat yang protes tambang karena polusi dan longsor, justru diintimidasi.
Di Konawe Utara, aktivis lingkungan dilaporkan balik ke polisi. Padahal tambang yang diprotes tak punya izin AMDAL.
Ilegal, tapi aman. Karena yang mengurus bukan rakyat, melainkan jaringan mafia yang berkoalisi dengan pemerintah daerah.
ICW mencatat, lebih dari 58 persen izin tambang daerah bermasalah secara administratif dan hukum.
Namun tetap beroperasi. Bahkan mengekspor hasil tambangnya secara lancar.
Bagaimana mungkin? Karena “pengurusnya” bukan orang biasa.
Mereka punya kedekatan dengan bupati. Dekat dengan DPRD. Bahkan disebut-sebut sebagai penyandang dana saat pilkada.
Di banyak daerah, gubernur hanyalah simbol protokoler.
Sementara mafia lokal menjadi penentu arah proyek, jalur distribusi, bahkan siapa yang dapat jatah tambang berikutnya.
Mereka punya pengaruh dalam pengangkatan kepala dinas. Dalam pengadaan alat berat. Bahkan dalam pembagian proyek CSR.
Rakyat tak lagi tahu siapa yang mereka minta pertanggungjawaban. Karena yang punya kuasa sesungguhnya tak muncul di publik.
Mereka tak hadir dalam debat. Tapi mereka bisa menentukan siapa yang duduk di kursi gubernur.
Mereka tak bicara di media. Tapi mereka bisa menutup suara warga lewat telepon kepada kepala daerah.
Satu kata mereka bisa hentikan investigasi. Bisa tarik polisi dari lokasi tambang ilegal.
Lalu siapa yang melawan?
Rakyat, yang dituduh menghambat pembangunan.
Di Kalimantan Timur, lubang bekas tambang merenggut nyawa 39 anak dalam 10 tahun.
Tak ada perusahaan yang dihukum. Tak ada izin yang dicabut.
Karena yang menjaga tambang bukan hukum, melainkan perlindungan dari jaringan kekuasaan.
Di Sulawesi Tengah, tambang ilegal bisa ekspor bijih nikel ke China.
Tanpa dokumen sah. Tanpa audit lingkungan. Tapi dikawal aparat berseragam.
Apakah ini kebetulan? Tidak. Ini adalah sistem.
Sistem di mana hukum dikendalikan oleh kepentingan, bukan keadilan.
Mafia lokal adalah operator. Mereka punya instrumen lengkap: aparat, birokrat, bahkan juru bicara.
Kita sering menyalahkan asing. Tapi lupa bahwa yang membuka pintu adalah orang dalam.
Investor hanya masuk jika ada jaminan dari dalam negeri.
Dan jaminan itu sering kali datang dari mereka yang tak tercatat di struktur pemerintahan, tapi lebih berkuasa dari siapa pun.
Karena itulah mereka disebut “gubernur bayangan”.
Mereka bisa menentukan wilayah tambang. Menentukan siapa yang boleh masuk dan siapa yang harus keluar.
Mereka lebih tahu isi tambang dari pada pejabat dinas ESDM.
Mereka lebih berpengaruh dari gubernur dalam menentukan proyek strategis daerah.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Pertama, akui bahwa mafia lokal adalah aktor utama dalam tambang.
Mereka bukan sekadar pelengkap. Mereka adalah penentu.
Kedua, pemerintah pusat harus mengambil alih sistem perizinan tambang.
Hapus perizinan manual. Wajibkan sistem digital yang transparan dan bisa dipantau publik.
Ketiga, beri wewenang pada KPK untuk menyelidiki relasi politik tambang di daerah.
Telusuri aliran dana, kontrak bayangan, dan aset yang tak bisa dijelaskan secara logis.
Keempat, lindungi masyarakat adat dan warga yang bersuara.
Mereka adalah pihak yang paling terdampak, namun paling tidak dilindungi.
Hentikan kriminalisasi terhadap warga yang menolak tambang.
Kelima, cabut izin perusahaan yang melanggar AMDAL dan merusak lingkungan.
Beri sanksi pada pejabat daerah yang memfasilitasi praktik tersebut.
Jika tidak, maka sistem ini akan terus berjalan.
Gubernur akan tetap menjadi boneka. Sementara mafia menjadi dalang yang tak tersentuh.
Dan rakyat akan terus jadi korban, di tanah mereka sendiri.
Mafia lokal bukan hanya musuh hukum, mereka adalah lawan demokrasi.
Selama mereka dibiarkan, tidak akan ada kedaulatan tambang.
Yang ada hanyalah eksploitasi sistemik, dan negara yang dikendalikan oleh tangan-tangan gelap.