Pemerintah dan Pertamina akhirnya memberi kejutan kecil menjelang Lebaran 2025. Mulai 29 Maret, harga BBM non-subsidi resmi turun. Pertamax, Pertamax Green, Dexlite, dan varian lainnya disesuaikan turun antara Rp400 hingga Rp700 per liter. Bagi sebagian masyarakat, ini tentu kabar baik, apalagi menjelang arus mudik yang akan menguras ongkos perjalanan.
Plt. Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, menyebut langkah ini sebagai “kado spesial Lebaran”. Kalimat itu manis terdengar. Tapi masyarakat berhak bertanya: apakah ini hanya kado sesaat, atau cerminan arah kebijakan energi yang lebih berpihak ke rakyat?
Harga BBM di Indonesia, khususnya non-subsidi, memang mengikuti mekanisme pasar. Namun kenyataannya, saat harga minyak dunia turun, penyesuaian harga di dalam negeri sering terlambat. Ketika harga naik, rakyat segera diminta maklum. Tapi saat harga turun, justifikasi yang muncul bisa beragam.
Maka penurunan kali ini patut diapresiasi, meskipun datang terlambat. Yang jauh lebih penting dari angka penurunan adalah jaminan kualitas produk dan transparansi distribusi. Karena apa gunanya harga murah, jika BBM yang dibeli ternyata oplosan atau tercampur zat yang merusak mesin?
Kasus BBM oplosan bukan isapan jempol. Setiap tahun menjelang Lebaran, aduan soal kualitas bahan bakar meningkat. Mulai dari kendaraan mogok usai mengisi, tangki kemasukan air, hingga oknum yang mencampur BBM resmi dengan zat tak layak. Ini bukan hanya soal kerugian ekonomi, tapi juga ancaman keselamatan.
Pertamina berkali-kali mengklaim distribusi aman dan pasokan cukup. Namun di lapangan, pengawasan sering lemah, terutama di SPBU-SPBU kecil dan di daerah pelosok. Padahal, mudik Lebaran adalah momen ketika mobilitas masyarakat mencapai puncaknya, dan risiko menjadi berlipat ganda.
Pemerintah dan Pertamina seharusnya tidak hanya mengumumkan harga. Mereka juga wajib menjamin keaslian produk, meningkatkan pengawasan, dan menindak tegas pelaku kecurangan di jalur distribusi. Program ramp check armada tangki dan penyebaran pos siaga BBM memang langkah positif, tapi jangan berhenti di seremonial.
Di sisi lain, turunnya harga BBM juga memperlihatkan realitas bahwa rakyat sangat sensitif terhadap kebijakan yang langsung menyentuh kantong mereka. Penyesuaian ini terasa lebih nyata daripada berbagai program subsidi yang rumit, lambat, dan rawan salah sasaran.
Namun, kita juga tak boleh melupakan konteks besar: penurunan harga BBM tidak serta-merta menjawab persoalan daya beli yang lesu. Menjelang Lebaran 2025 ini, banyak laporan menyebut konsumsi rumah tangga tak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Harga-harga bahan pokok masih tinggi.
Kebijakan harga energi harus berjalan seimbang dengan perlindungan daya beli masyarakat secara menyeluruh. Karena itu, pemangkasan harga BBM harus dibarengi kontrol harga logistik, evaluasi ongkos distribusi, dan langkah nyata mengendalikan inflasi pangan.
Jangan sampai publik hanya diberi “kado Lebaran” dalam bentuk angka, tapi tetap harus membayar mahal dalam bentuk lain: harga pangan yang melambung, transportasi umum yang naik, atau layanan publik yang tidak membaik.
Pemerintah perlu menjadikan kebijakan energi sebagai bagian dari sistem jangka panjang yang adil, bukan hanya alat politis menjelang momen besar. Harga boleh turun sesaat, tapi akuntabilitas harus terus naik.
Dan terakhir, jangan lupakan soal trust. Masyarakat bisa menerima BBM non-subsidi turun, asal bukan oplosan, bukan pencitraan, dan bukan sekadar simbol. Karena yang dibutuhkan rakyat bukan kejutan, tapi kepastian.