Dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang semestinya menjadi tonggak stabilitas dan pendewasaan demokrasi justru ditutup dengan noda sejarah yang sukar dihapus. Bukan karena satu atau dua kebijakan gagal, tapi karena cara kekuasaan dijalankan dan dipertahankan: dengan pendekatan manipulatif, elitis, dan oportunis.
Yang lebih memalukan lagi, di balik seluruh narasi kerja dan pembangunan yang dikampanyekan, justru terungkap ambisi kekuasaan yang melebihi mandat konstitusi. Selama tahun 2021 hingga 2023, wacana tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden bergulir secara sistematis dan masif.
Dimulai dari pernyataan sejumlah menteri kabinet sendiri—seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Bahlil Lahadalia, dan Mensesneg Pratikno—yang mengusulkan agar masa jabatan presiden diperpanjang karena alasan stabilitas dan pemulihan pascapandemi. Dukungan juga datang dari elite partai koalisi pemerintah. Mereka berdalih bahwa rakyat menginginkan Jokowi tetap menjabat lebih lama.
Bahkan menurut LSI Denny JA (2022), muncul lonjakan wacana “presiden 3 periode” di ruang publik melalui akun-akun pro-pemerintah. Ini bukan aspirasi rakyat, tapi rekayasa opini politik. Di saat yang sama, suara-suara kritis dari akademisi, aktivis, dan tokoh sipil justru dibungkam, diintimidasi, atau dipinggirkan.
Jokowi sendiri bersikap ambigu. Ia beberapa kali menyatakan “menolak tiga periode” tapi tanpa sikap tegas kepada para pembisiknya. Ia tidak pernah memberi perintah untuk menghentikan kampanye perpanjangan kekuasaan. Ini memperkuat kesan bahwa sikap diamnya adalah bentuk restu.
Ketika tekanan publik mulai keras, barulah wacana itu surut. Tapi tak berarti ambisi berhenti. Justru kekuasaan dialihkan secara licik kepada keluarga. Putranya, Gibran Rakabuming Raka, diangkat menjadi calon wakil presiden melalui jalur kontroversial di Mahkamah Konstitusi. Putusan batas usia capres yang dilonggarkan untuk memberi jalan bagi Gibran adalah bentuk eksplisit dari praktik nepotisme konstitusional.
Lebih jauh lagi, Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu adalah adik ipar Presiden, Anwar Usman. Meski akhirnya diberhentikan dari jabatannya karena terbukti melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan MK, hasil putusannya tetap berlaku. Skandal ini menampar wajah independensi hukum dan menegaskan bahwa seluruh sistem sedang dipaksa tunduk kepada kehendak kekuasaan keluarga.
Periode Jokowi kini bukan hanya disorot karena proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang dipaksakan, atau kontroversi UU Cipta Kerja yang sempat dibatalkan MK dan lalu disahkan kembali secara ugal-ugalan. Tapi juga karena cara kekuasaan diperluas dengan cara-cara manipulatif, melemahkan konstitusi, dan menciptakan preseden berbahaya bagi demokrasi.
IKN menjadi cermin dari proyek ambisius yang tidak akuntabel. Di tengah krisis ekonomi dan defisit fiskal, pemerintah tetap ngotot membangun kota baru yang belum jelas siapa akan menempatinya. Proyek ini diklaim akan dibiayai oleh investor, tapi hingga pertengahan 2025, mayoritas anggaran masih bersumber dari APBN.
Di sisi lain, kasus dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi terus menjadi teka-teki yang tak pernah dijawab tuntas. Bukannya membuka data dan menyelesaikan isu dengan transparan, pemerintah memilih menyerang para penuduh, bukan membuktikan kebenaran.
Isu ini tidak hanya menyangkut dokumen akademik, tapi menyentuh inti dari etika publik. Jika pemimpin saja tidak bisa menjawab pertanyaan dasar soal kredibilitas pribadi, maka kepercayaan publik runtuh bukan karena hoaks, tapi karena ketertutupan yang disengaja.
Panggung internasional pun tidak menyelamatkan citra. Dalam beberapa kesempatan, Presiden tampak tidak siap secara bahasa maupun substansi. Pernyataan dalam bahasa Inggris sering kali tidak komunikatif, bahkan disorot sebagai kelemahan diplomasi. Untuk pemimpin negara sebesar Indonesia, ini bukan hanya masalah gaya, tapi soal kredibilitas.
Dan setelah kekuasaan selesai, alih-alih menjauh dari pusat sorotan, Jokowi justru tampil terus di publik. Ia hadir di acara politik, mengadakan kegiatan peresmian, dan memberikan sinyal bahwa pengaruhnya belum selesai.
Gaya “pensiun yang tidak pensiun” ini kontras dengan mantan presiden lain. Habibie kembali ke dunia sains. Gus Dur menjadi tokoh moral. SBY membangun partai tapi tahu kapan harus diam. Jokowi justru tampak berusaha keras menutupi jejak kepemimpinan yang penuh lubang, sambil menjaga panggung untuk keluarganya tetap menyala.
Apa yang diwariskan dari dua periode ini? Infrastruktur? Ya, tetapi dengan utang luar negeri yang mencapai lebih dari Rp8.000 triliun. Reformasi birokrasi? Justru mengalami stagnasi. Pendidikan? Masih dirundung ketimpangan. Demokrasi? Menurun menurut semua indeks global.
Warisan terbesar dari dua periode Jokowi adalah normalisasi penyalahgunaan wewenang dalam bentuk halus: legal tapi tidak etis, sah tapi menyimpang.
Dan kini, rakyat tidak sedang menghadapi krisis ekonomi saja, tapi juga krisis etika dan kepercayaan. Demokrasi yang seharusnya menjaga sirkulasi kekuasaan secara sehat justru dilanggar dengan alasan “stabilitas” dan “kelanjutan.”
Inilah ironi terbesar dua periode Jokowi. Bukan soal gagal membangun, tapi gagal membatasi diri. Dan kegagalan itu kini tercatat dengan tinta sejarah yang kelam dan menyakitkan.