Jakarta – Pemerintah Amerika Serikat resmi membuka pintu negosiasi tarif impor kepada Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi negara pertama yang diundang untuk membahas kelanjutan kebijakan tarif era Presiden Donald Trump.
Dalam konferensi pers virtual, Jumat (18/4/2025), Airlangga menyebut bahwa pertemuan berlangsung secara daring pada Senin sebelumnya bersama Secretary of Commerce, Howard Lutnick. Agenda pembahasan fokus pada strategi dagang bilateral yang lebih seimbang dan saling menguntungkan.
“Kami sudah video conference dengan Mr. Lutnick, dan hasilnya, Indonesia jadi negara yang diterima lebih awal dalam pembahasan,” ujar Airlangga.
Selain Indonesia, Vietnam, Jepang, dan Italia juga tengah menjajaki pembicaraan serupa. Namun, respons cepat Washington terhadap pendekatan Indonesia menandai keberhasilan diplomasi ekonomi RI di tengah dinamika global yang belum stabil.
Airlangga menegaskan, pembahasan ini mencakup revisi tarif sejumlah komoditas, perluasan akses pasar, dan kesepakatan baru yang diharapkan mampu mereduksi defisit perdagangan AS terhadap Indonesia, yang pada 2024 mencapai USD 17,9 miliar.
“Diskusi ini untuk mencari jalan keluar agar kerja sama dagang berjalan seimbang dan saling menguntungkan,” kata Menko Perekonomian itu.
Pertemuan juga telah dilakukan dengan United States Trade Representative (USTR), Jamieson Greer. Dalam waktu dekat, perwakilan Indonesia dijadwalkan bertemu dengan Secretary of the Treasury untuk memperdalam pembahasan, terutama terkait pengenaan tarif terhadap komoditas utama Indonesia.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Indonesia dalam menjaga neraca perdagangan tetap sehat sekaligus mengantisipasi kebijakan proteksionis AS yang kembali menguat di bawah Presiden Trump.
Tak hanya dari sektor ekonomi, Menteri Luar Negeri Sugiono juga aktif dalam mendukung jalur diplomasi ini. Ia telah bertemu dengan Secretary of State AS, Marco Rubio, sebagai bagian dari upaya memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi perdagangan global.
“Respons dari pejabat Amerika sejauh ini positif dan cepat. Ini sinyal bagus bagi masa depan kerja sama kita,” kata Airlangga.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa tantangan ke depan tak mudah. Salah satu usulan yang dibawa ke meja negosiasi adalah skema pembelian barang dari AS dengan pendekatan berbasis kebutuhan domestik, bukan semata impor konvensional.
“Indonesia akan beli barang dari Amerika sesuai kebutuhan nasional. Nilainya akan menyesuaikan dengan target pengurangan defisit,” ujarnya.
Namun, Airlangga belum menjelaskan detail teknis skema pembelian tersebut. Yang jelas, langkah ini bukan berarti membuka lebar keran impor, tetapi bagian dari strategi penyeimbangan hubungan dagang yang selama ini timpang.
Sementara itu, kalangan pengusaha di Indonesia merespons positif negosiasi ini, namun menekankan pentingnya transparansi. Ketua Asosiasi Pengusaha Ekspor Nasional, Dimas Laksono, menyebut pembicaraan ini sebagai “angin segar” bagi pelaku industri yang selama ini tertekan tarif tinggi.
“Kalau negosiasi ini berhasil, bisa membuka kembali pasar ekspor kita yang selama ini dibatasi. Tapi kami butuh kejelasan sektor mana saja yang disasar,” ujar Dimas.
Ia menambahkan, sektor tekstil, furnitur, alas kaki, dan komponen elektronik adalah industri yang paling terdampak kebijakan tarif Trump. Jika beban ini bisa dikurangi, daya saing produk Indonesia akan kembali meningkat.
Dari sisi akademisi, Guru Besar Ekonomi Internasional Universitas Indonesia, Prof. Lina Safitri, menekankan pentingnya pemerintah tidak terburu-buru menyepakati kompensasi perdagangan tanpa kajian matang.
“AS boleh saja minta kita beli produk mereka, tapi jangan sampai justru merugikan industri lokal kita. Harus ada studi dampak yang komprehensif,” kata Prof. Lina.
Menurutnya, tantangan utama dalam negosiasi ini adalah menjaga agar kesepakatan tidak bersifat transaksional semata, melainkan menjadi pijakan jangka panjang bagi hubungan dagang yang adil dan berkelanjutan.
Kebijakan tarif impor AS yang diperkenalkan pada masa jabatan pertama Donald Trump dikenal luas sebagai bentuk proteksionisme modern. Ratusan produk asal Asia, termasuk dari Indonesia, dikenakan bea masuk tinggi untuk melindungi industri domestik AS.
Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak langsung, terutama untuk produk logam, ban kendaraan, serta elektronik rumah tangga. Selama empat tahun terakhir, volume ekspor ke AS dari beberapa sektor menurun signifikan akibat tingginya tarif tersebut.
Dengan kembali terpilihnya Trump, banyak negara khawatir kebijakan ini akan diperpanjang atau diperluas. Karenanya, langkah cepat Indonesia memulai negosiasi menjadi langkah strategis untuk menghindari efek domino dari kebijakan tersebut.
Jika negosiasi berhasil, maka Indonesia tidak hanya mendapatkan relaksasi tarif, tetapi juga peluang memperluas akses pasar. Skema kerja sama yang dibahas mencakup pertukaran teknologi, pembukaan zona perdagangan, dan penjajakan investasi bersama di sektor energi dan manufaktur.
Airlangga memastikan, semua langkah ini tetap mengedepankan kepentingan nasional dan keberlanjutan ekonomi domestik.
“Indonesia tidak dalam posisi lemah. Kita punya daya tawar karena kekuatan pasar kita besar,” tegasnya.
Dengan jalur negosiasi yang kini terbuka, Indonesia berada di lintasan baru hubungan dagang global. Tinggal bagaimana pemerintah mengelola peluang ini agar tidak sekadar jadi simbol diplomasi, melainkan pijakan konkret bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.