Utusan Khusus Presiden adalah jabatan yang seharusnya mendukung harmoni dan keberagaman. Namun, penunjukan Miftah sebagai Utusan Khusus untuk isu toleransi dan dialog antaragama memunculkan kontroversi. Kritik datang bukan hanya dari sisi efektivitas jabatan ini, tetapi juga karena kehadiran Miftah dianggap mengganggu suasana toleransi beragama, terutama di kalangan umat Islam sendiri.
Menurut laporan Suara.com, beberapa pihak menduga bahwa jabatan ini lebih bertujuan sebagai balas jasa politik daripada kebutuhan riil. Miftah, yang dikenal sebagai tokoh publik dan pendakwah, memiliki kedekatan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa pengangkatannya lebih didasarkan pada hubungan politik daripada pertimbangan strategis.
Namun, masalah yang lebih mendalam adalah dampaknya terhadap umat Islam, yang seharusnya menjadi salah satu kelompok utama yang merasakan manfaat dari kebijakan toleransi. Sosok Miftah tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian besar umat Islam karena pandangan dan pendekatannya yang kerap kontroversial. Hal ini justru memicu resistensi dan memperkeruh dialog antarumat beragama yang seharusnya didorong.
Dari sisi politik, keputusan ini menimbulkan persepsi negatif terhadap pemerintah. Penunjukan tanpa kajian mendalam dapat melemahkan kredibilitas negara dalam mengelola isu-isu sensitif seperti toleransi agama. Dalam praktiknya, toleransi tidak hanya membutuhkan figur populer, tetapi juga kemampuan untuk menjadi jembatan yang diterima semua pihak. Sayangnya, dalam kasus ini, Miftah justru dipandang sebagai sosok yang memecah belah.
Aspek sosial dan budaya memperlihatkan tantangan besar. Isu toleransi agama di Indonesia memerlukan pendekatan yang hati-hati, terutama karena sensitivitasnya di tengah pluralisme bangsa. Jika sosok yang ditunjuk tidak mampu membangun rasa percaya dan harmoni, maka upaya toleransi bisa berbalik menjadi sumber konflik baru.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah mengevaluasi penunjukan Miftah dan memastikan bahwa jabatan ini dipegang oleh figur yang benar-benar mampu meredakan ketegangan dan membangun dialog inklusif. Pemerintah perlu transparan dalam menentukan kriteria dan indikator keberhasilan utusan khusus agar publik melihat manfaatnya secara nyata. Jika keberadaan jabatan ini justru menjadi beban politik dan sosial, maka penghapusan jabatan tersebut adalah langkah yang lebih bijak.
Akhirnya, penunjukan Miftah sebagai Utusan Khusus Presiden lebih banyak menimbulkan polemik daripada manfaat. Pemerintah harus mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau kelompok, terutama dalam isu sensitif seperti toleransi beragama.