Wacana Presiden Prabowo membuka hubungan diplomatik dengan Israel, meskipun disertai syarat kemerdekaan Palestina, tetap memicu amarah publik.
Bukan karena rakyat Indonesia anti perdamaian. Tapi karena perdamaian tidak bisa dibangun di atas darah dan abu penjajahan.
Normalisasi dengan Israel, selagi genosida di Gaza terus berlangsung, adalah langkah yang salah arah dan membahayakan integritas diplomasi Indonesia.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, Sudarnoto Abdul Hakim, secara tegas menolak wacana ini. Ia menekankan bahwa yang dibutuhkan saat ini bukan normalisasi, tetapi tekanan global agar Israel menghentikan kejahatannya.
Menurutnya, langkah nyata Indonesia seharusnya adalah menuntut penarikan penuh pasukan IDF, penghentian agresi, penangkapan pemimpin Israel oleh Mahkamah Internasional, dan pengembalian tanah Palestina yang dirampas.
Ini bukan sekadar opini. Ini adalah cerminan dari amanat konstitusi: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Indonesia sejak awal berdiri sebagai bangsa yang menolak segala bentuk penjajahan. Itu adalah fondasi moral kebijakan luar negeri kita.
Menggoyahkan prinsip itu demi iming-iming hubungan dagang atau tekanan internasional akan menjadi noda sejarah.
Konflik Israel-Palestina bukan konflik biasa. Ini soal kolonialisme modern.
Data dari UNOCHA mencatat lebih dari 36.000 warga Palestina tewas di Gaza sejak 2023. Sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan.
Gaza hancur. Rumah sakit luluh lantak. Blokade total membuat wilayah itu seperti kamp konsentrasi terbuka.
Lalu, di tengah horor kemanusiaan ini, kita bicara normalisasi?
Di sisi lain, Indonesia punya peluang besar untuk memainkan peran global. Pertemuan Prabowo dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron harusnya dijadikan pijakan untuk memperkuat poros anti-penjajahan.
Prancis menunjukkan celah dalam blok Barat. Mereka mulai berani mengkritik Israel dan memberi ruang bagi pengakuan Palestina.
Namun, Indonesia tidak boleh kehilangan arah. Tidak boleh terjebak dalam pragmatisme diplomatik yang mengorbankan prinsip.
Membuka hubungan dengan Israel—meski dengan syarat kemerdekaan Palestina—tetap bisa disalahartikan sebagai pengkhianatan pada perjuangan rakyat Palestina.
Dan yang lebih penting: bisa melukai hati rakyat Indonesia sendiri.
Solidaritas Indonesia terhadap Palestina bukan sekadar retorika. Ia sudah menjadi bagian dari kesadaran kolektif.
Aksi solidaritas digelar di seluruh pelosok negeri. Dari masjid, gereja, hingga kampus dan jalan raya.
Bendera Palestina dikibarkan bukan karena doktrin politik, tapi karena keadilan.
Jika pemerintah melangkah ke arah normalisasi, ia harus siap kehilangan kepercayaan publik.
Apalagi saat dunia justru bergerak ke arah pengakuan Palestina.
Irlandia, Spanyol, dan Norwegia baru saja mengakui Palestina secara resmi. Gelombang ini akan meluas.
Indonesia seharusnya memimpin, bukan membelokkan arah.
Ada yang menyebut normalisasi bisa membawa investasi, kerja sama militer, dan akses teknologi. Tapi apa artinya semua itu jika dibayar dengan kehormatan bangsa?
Ekonomi yang dibangun dengan mengorbankan kemanusiaan tidak akan langgeng.
Langkah Indonesia harus tetap jelas. Tidak boleh kabur. Tidak boleh gamang.
Yang dibutuhkan saat ini adalah konsistensi penuh terhadap konstitusi. Prinsip “penjajahan harus dihapuskan” bukan sekadar kutipan, tapi kompas moral kebijakan luar negeri kita.
Indonesia juga harus memperkuat aliansi global dengan negara-negara yang membela Palestina. Koalisi ini penting untuk menekan Israel secara kolektif di forum internasional.
Tindakan diplomatik aktif harus digencarkan. Baik di PBB, Mahkamah Internasional, maupun organisasi multilateral lain yang punya kekuatan hukum dan moral.
Di saat yang sama, edukasi publik harus digerakkan. Untuk membongkar narasi normalisasi yang menyesatkan. Untuk mengingatkan bahwa penjajahan bukan sesuatu yang bisa dinegosiasikan.
Kita tidak bisa berdamai dengan penjajahan.
Diplomasi tidak bisa dijalankan tanpa landasan etika.
Dan sejarah akan mencatat siapa yang berdiri bersama korban, dan siapa yang memilih kompromi.
Indonesia tidak kekurangan jalan untuk berperan besar. Tapi jalan itu tidak boleh melewati reruntuhan keadilan.
Bangsa ini berdiri karena melawan penjajahan. Maka tak sepantasnya kita mendekap tangan penjajah hanya karena tuntutan realpolitik.