Pernyataan mengejutkan disampaikan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, yang menyebut tengah mengkalkulasi kemungkinan maju sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—partai yang saat ini dipimpin oleh anak bungsunya, Kaesang Pangarep. Wacana ini langsung menyulut perdebatan, tak hanya karena posisi yang diperebutkan, tetapi karena pesan politik yang tersirat di balik manuver tersebut.
Langkah Jokowi memperjelas bahwa kekuasaan bukan sesuatu yang sepenuhnya ia lepaskan. Meski telah menyelesaikan dua periode masa jabatannya, Jokowi tampaknya ingin tetap menjadi aktor utama dalam panggung politik nasional. Dan PSI, partai muda dengan basis pemilih urban dan milenial, menjadi instrumen strategis untuk menjaga eksistensi itu.
Secara hukum, tidak ada aturan yang dilanggar. Tidak ada pasal dalam konstitusi yang melarang mantan presiden aktif di partai politik atau bahkan memimpin partai. Namun, akar permasalahannya bukan pada aspek legalitas, melainkan pada batas etika politik dan semangat demokrasi yang sehat.
Jika Jokowi benar-benar menggantikan putranya sendiri sebagai ketua umum, maka kita sedang menyaksikan bentuk eksplisit politik dinasti yang dikemas rapi dalam prosedur demokratis. Partai bukan lagi sekadar organisasi publik berbasis ideologi, tetapi berubah menjadi alat pewarisan kuasa dalam lingkar keluarga.
Praktik seperti ini bukan tanpa preseden. Di banyak negara, politik dinasti menjalar ketika partai dijadikan struktur kekuasaan personal yang diwariskan antar generasi. Di Filipina, Korea Selatan, hingga Argentina, mekanisme demokrasi tak kuasa membendung dominasi keluarga elite dalam tubuh partai.
Indonesia tampaknya sedang menapaki jalan serupa. PSI, yang awalnya lahir sebagai partai anti-dinasti dan membawa semangat progresif, kini justru terjebak dalam polarisasi internal berbasis loyalitas personal. Kaesang yang naik ke pucuk kepemimpinan tanpa rekam jejak politik yang signifikan sudah cukup menimbulkan kontroversi.
Kini, jika Jokowi benar-benar masuk menggantikannya, maka kredibilitas PSI sebagai partai modern dan meritokratis patut dipertanyakan. Kepemimpinan partai tidak lagi ditentukan oleh gagasan dan kapabilitas, melainkan oleh ikatan darah dan strategi mempertahankan pengaruh.
Dalam konteks demokrasi, ini berbahaya. Demokrasi membutuhkan sirkulasi elite yang sehat dan terbuka. Bila partai politik dikendalikan oleh satu keluarga, maka proses kaderisasi akan macet dan regenerasi kepemimpinan akan bergantung pada kalkulasi keluarga, bukan pada aspirasi publik.
Survei Indonesia Political Indicator (IPI) menunjukkan bahwa 72 persen masyarakat Indonesia menolak praktik politik dinasti. Namun dalam praktiknya, resistensi ini kerap tumpul karena publik masih terpukau oleh figur-figur populer seperti Jokowi, yang dianggap bersih dan merakyat.
Kondisi ini menciptakan paradoks: rakyat menolak politik dinasti, tetapi tetap memberi ruang karena figur tersebut memiliki daya tarik elektoral yang tinggi. Inilah celah yang dimanfaatkan oleh elite politik untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara yang tampak sah, tetapi sebenarnya mengaburkan prinsip demokrasi yang sejati.
Dari sisi politik nasional, masuknya Jokowi ke PSI juga memiliki dampak strategis. Pemerintahan Prabowo Subianto, yang baru akan berjalan, harus berhadapan dengan kemungkinan munculnya kekuatan oposisi atau semi-koalisi yang tetap dikendalikan oleh pengaruh Jokowi.
Apalagi jika PSI tumbuh lebih besar di bawah kepemimpinan Jokowi, dengan modal jaringan, dana, dan loyalitas yang ia bangun selama dua periode kepemimpinannya. Maka, stabilitas politik dalam lima tahun ke depan bisa dipengaruhi oleh pertarungan diam-diam antara kekuasaan yang sedang berjalan dan kekuasaan yang belum sepenuhnya berakhir.
Dari sisi ekonomi politik, konsentrasi kekuasaan dalam satu keluarga atau kelompok kecil cenderung memperkuat pola oligarki. Partai yang dikendalikan secara personal rentan dijadikan alat politik transaksional, bukan sebagai instrumen perjuangan ide dan kebijakan publik.
Risikonya sangat besar: tata kelola negara bisa terdistorsi karena keputusan politik dibuat demi kepentingan jangka pendek untuk melindungi jejaring kekuasaan, bukan berdasarkan kepentingan publik yang luas dan berjangka panjang.
Apa yang harus dilakukan?
Pertama, reformasi internal partai mutlak diperlukan. Pemilihan ketua umum PSI melalui e-voting patut diapresiasi sebagai kemajuan teknologis, namun hal itu tidak berarti apa-apa jika calon tunggal ditentukan berdasarkan kekuasaan simbolik dan relasi keluarga.
Kedua, publik harus lebih kritis dan tidak hanya menilai pemimpin dari citra personal semata. Popularitas tak boleh menutupi bahaya laten yang datang bersama praktik politik yang menyimpang dari prinsip demokrasi.
Ketiga, media dan masyarakat sipil harus aktif mengawal perkembangan ini. Jika demokrasi ingin bertahan dalam bentuk substansialnya, maka keberanian untuk menyampaikan kritik dan kontrol harus menjadi bagian dari ekosistem politik kita.
Keempat, pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi ulang regulasi partai politik. Termasuk kemungkinan pembatasan keterlibatan anggota keluarga inti dalam satu struktur kepemimpinan partai untuk mencegah konsentrasi kekuasaan secara turun-temurun.
Sebagai media, kami menilai bahwa wacana Jokowi menjadi ketua umum PSI bukan sekadar keputusan individu, melainkan bagian dari gejala yang lebih besar—yaitu upaya mempertahankan kekuasaan di luar jalur formal.
Jika ini terus terjadi tanpa kontrol, maka demokrasi kita akan kehilangan ruhnya. Ia akan tetap hidup dalam prosedur, tapi mati dalam makna.