Langkah pertama yang penuh tantangan memberi secercah optimisme. Kemenangan tipis 1-0 atas Myanmar, lewat gol Ramadhan Sananta, menunjukkan determinasi awal yang menjanjikan dari skuad muda. Namun, keajaiban itu hanya bertahan sebentar.
Pada laga kedua melawan Laos, permainan yang penuh semangat berubah menjadi bumerang. Setelah unggul lebih dulu, Indonesia kehilangan fokus di menit-menit akhir, hingga laga berakhir imbang 3-3. Dua poin penting terlepas, mencerminkan masalah dalam manajemen permainan yang belum stabil.
Melawan Vietnam, yang dikenal sebagai tim kuat Asia Tenggara, Indonesia menghadapi tantangan nyata. Strategi bertahan yang solid bertahan hingga menit ke-78. Namun, satu kelengahan menjadi mahal, ketika Vietnam berhasil mencetak gol tunggal kemenangan. Kekalahan 0-1 ini menjadi pukulan telak sekaligus sinyal bahwa Garuda Muda masih membutuhkan banyak pembenahan.
Laga terakhir melawan Filipina menjadi klimaks yang pahit. Penalti Bjorn Kristensen dan kartu merah Muhammad Ferarri di babak pertama membuat Indonesia kehilangan kendali pertandingan. Kekalahan 0-1 memastikan mereka hanya finis di posisi ketiga Grup B dengan empat poin, tertinggal dari Vietnam dan Filipina yang melaju ke semifinal.
Meski langkah Indonesia terhenti, ada dimensi lain yang patut dicermati. Dengan rata-rata usia 20,3 tahun, Timnas Indonesia adalah tim termuda di Piala AFF 2024. Pemain-pemain muda seperti Arkhan Kaka (17 tahun) dan Cahya Supriadi menunjukkan potensi besar untuk masa depan. Pelatih Shin Tae-yong sejak awal sudah menekankan bahwa turnamen ini adalah bagian dari strategi jangka panjang.
Ketika publik menantikan trofi, federasi dan tim pelatih memilih untuk memprioritaskan pembinaan. Ini adalah langkah yang tak populer di mata banyak orang, tetapi sangat strategis dalam membangun fondasi masa depan. Melalui pengalaman ini, para pemain muda mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi di level tertinggi Asia Tenggara, sebuah pembelajaran yang tak ternilai harganya.
Namun demikian, evaluasi kritis tetap diperlukan. Kekurangan dalam transisi permainan, lemahnya koordinasi antarlini, serta ketidakmampuan menjaga fokus di momen-momen penting menjadi catatan yang harus segera diperbaiki. Shin Tae-yong dan jajaran pelatih harus memastikan bahwa kelemahan ini tidak berulang di turnamen mendatang.
Tidak hanya dari sisi teknis, tantangan sepak bola Indonesia juga datang dari aspek manajemen dan politik olahraga. Konsistensi program pembinaan usia muda masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. PSSI, sebagai federasi, memegang peran penting untuk memastikan regenerasi ini berjalan mulus. Dukungan terhadap pelatih, peningkatan kualitas kompetisi domestik, serta investasi pada akademi dan infrastruktur adalah langkah yang harus diambil dengan serius.
Selain itu, sinergi dengan klub-klub lokal perlu diperkuat. Kompetisi yang kompetitif di level domestik akan menciptakan pemain-pemain berkualitas yang siap bersaing di level internasional. Jika ekosistem sepak bola tidak mendukung, regenerasi hanya akan menjadi mimpi tanpa wujud.
Meski tersingkir, perjalanan ini tetap menawarkan harapan. Para pemain muda yang kini mendapatkan pengalaman berharga akan menjadi tulang punggung Timnas Indonesia di masa depan. Turnamen seperti SEA Games, kualifikasi Piala Asia U-23, hingga kejuaraan lainnya akan menjadi panggung lanjutan bagi mereka untuk menunjukkan perkembangan.
Publik sepak bola Indonesia harus bersabar. Kebangkitan bukanlah proses instan. Langkah tertatih ini mungkin menyakitkan, tetapi jika diolah dengan benar, akan menjadi pijakan kokoh menuju kejayaan yang lebih besar. Dukungan terhadap pelatih, pemain, dan federasi harus konsisten.
Sepak bola Indonesia membutuhkan keberanian untuk menempuh jalan yang tidak populer demi masa depan yang lebih cerah. Kegagalan kali ini adalah awal dari perjalanan panjang yang akan menentukan arah perkembangan sepak bola nasional. Dengan visi jangka panjang yang jelas, Timnas Indonesia akan melangkah dengan lebih percaya diri di masa depan.