Pernyataan Purbaya Yudhi Sadewa tentang larangan impor pakaian bekas terdengar tegas. Ia menyasar pelabuhan, bukan pasar. Fokusnya memutus suplai dari hulu, bukan memburu pedagang kecil di hilir. Secara prinsip, ini langkah yang lebih tepat.
Tegas memang perlu. Namun kalimat “yang menolak saya tangkap duluan” mengundang soal. Menegakkan hukum tidak bisa berbasis prasangka. Penolakan kebijakan bukan bukti kejahatan. Itulah bedanya negara hukum dengan negara amarah.
Larangan impor pakaian bekas memiliki tiga landasan. Kesehatan, karena barang tak steril berisiko. Ekonomi, karena impor ilegal memukul industri garmen, penjahit lokal, dan UMKM. Lingkungan, karena fast fashion menciptakan gunungan sampah tekstil yang sulit ditangani. Tiga alasan ini kuat, asalkan diiringi tata kelola yang rapi.
Masalah muncul pada pelaksanaan. Rantai impor ilegal jarang berhenti di pedagang. Ada simpul besar di pelabuhan, pergudangan, dan logistik. Tanpa pembenahan bea cukai, audit kontainer, dan integritas aparat, larangan hanya memencet balon. Tekanan di satu sisi, mengembang di sisi lain.
Kita mendukung strategi hulu. Perketat manifest, gunakan risk profiling, dan terapkan non-intrusive inspection yang benar. Lacak ulang kontainer transit. Putus mata rantai relabeling sebagai “donasi” atau “limbah”. Terapkan blacklist importir yang terbukti melanggar, tetapi dengan proses pembuktian yang transparan.
Hukum pidana bukan alat pidato. Ucapan pejabat yang bernuansa “tangkap duluan” bisa melukai prinsip praduga tak bersalah. Penegakan hukum yang terburu-buru justru melemahkan perkara di pengadilan. Kita butuh berkas perkara rapi, bukan pernyataan viral.
Di hilir, realitas sosial tak bisa dihapus dengan satu kalimat. Ekosistem thrift melibatkan pedagang kecil, perajin reparasi, jasa cuci, dan kurir. Banyak yang bergantung pada marjin tipis. Menghapus tiba-tiba tanpa jalur transisi berisiko memindahkan masalah ke pengangguran.
Solusinya bukan toleransi terhadap ilegalitas, tetapi jembatan menuju legalitas. Beri tenggat transisi yang jelas. Buka akses dagang ke produk lokal berkualitas dengan skema grosir kolektif. Sediakan kredit mikro untuk modal putar. Syaratkan sertifikasi kebersihan dan standardisasi kualitas. Dorong pelaku thrift beralih ke upcycle dan repair produk lokal.
Industri dalam negeri juga wajib berbenah. Konsumen masuk ke thrift bukan hanya karena harga. Mereka mengejar gaya, keberlanjutan, dan keunikan. Brand lokal harus menjawab tiga hal ini. Produksi yang efisien, desain yang relevan, dan bahan yang nyaman. Jika output industri kita justru mahal dan minim inovasi, pasar akan kembali mencari jalan tikus.
Kebijakan fiskal bisa membantu. Insentif untuk mesin efisien energi, keringanan PPh bagi UKM garmen yang menyerap tenaga kerja, dan kemudahan impor bahan baku ramah lingkungan. Di saat yang sama, penegakan SNI untuk pakaian baru harus tegas agar persaingan sehat.
Jangan lupa dimensi lingkungan. Larangan impor pakaian bekas tidak otomatis menyelesaikan sampah tekstil. Tanpa skema tanggung jawab produsen, pakaian murah baru berpotensi berumur pendek. Dorong extended producer responsibility di sektor fesyen. Tetapkan target daur ulang serat. Fasilitasi bank kain di kota-kota besar.
Komunikasi publik mesti jernih. Bedakan tegas antara busana bekas ilegal impor dan kegiatan donasi dalam negeri. Bedakan pula barang second berkualitas yang diperdagangkan secara legal dari bal impor gelap. Menyamakan semua sebagai “jahat” menutup ruang solusi.
Khusus untuk pelabuhan, transparansi adalah kunci. Publikasikan data penindakan per bulan. Asal negara, HS code, modus, nilai barang, serta status hukum. Laporkan juga tindak lanjut: disita, dikembalikan, atau dimusnahkan. Tanpa data, publik tak bisa menilai apakah kebijakan menyentuh otak jaringan atau hanya kulitnya.
Koordinasi antarlembaga harus nyata. Kementerian Keuangan, Perdagangan, Perindustrian, dan KKP di sisi kepelabuhanan. Kemenkop UMKM dan pemerintah daerah untuk transisi pedagang. Kementerian Lingkungan Hidup untuk agenda sirkular. Satu peta jalan, satu titik akuntabilitas.
Aspek hak konsumen perlu dijaga. Edukasi tentang kesehatan kain bekas impor yang tidak higienis harus berbasis bukti. Sertakan panduan perawatan pakaian, dari mencuci sampai daur ulang. Kampanye yang mendidik lebih efektif daripada stempel menakut-nakuti.
Pada level wacana, jangan biarkan kebijakan ini jatuh ke perang urat syaraf antara “pro industri” dan “pro rakyat kecil”. Yang pro rakyat adalah kebijakan yang menutup keran ilegal di hulu, merapikan pasar di hilir, dan memberi transisi yang adil. Yang pro industri adalah mendorong efisiensi dan inovasi, bukan meminta pasar dilindungi dari persaingan selamanya.
Kita mengapresiasi ketegasan menyasar pelabuhan. Itu langkah yang sering kami serukan: pukul sumbernya, bukan ujungnya. Namun ketegasan butuh koridor. Jangan gadaikan due process demi sensasi. Jangan subordinasikan hukum pada hiperbola.
Sikap editorial kami tegas. Setop impor pakaian bekas ilegal. Benahi pelabuhan dan bea cukai dengan integritas. Lindungi pengusaha garmen dan penjahit lokal dengan kebijakan yang membuat mereka kompetitif. Sediakan jembatan transisi bagi pedagang thrift agar tidak jatuh miskin mendadak.
Negara kuat bukan karena kalimat paling keras, melainkan karena sistem yang paling rapi. Larangan yang cerdas adalah larangan yang menutup celah, menjaga martabat hukum, dan mengangkat ekonomi nyata. Tegas boleh. Serampangan jangan.
