Debat tentang sistem pemilihan kepala daerah kembali mencuat di Indonesia. Wacana mengubah pemilihan langsung menjadi melalui DPRD, sebagaimana digaungkan Presiden Prabowo Subianto, menuai polemik tajam. Meski dianggap dapat menekan biaya politik, gagasan ini bertentangan dengan konstitusi dan menuai skeptisisme dari para pengamat.
Konstitusi Indonesia, melalui berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seperti Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 dan UU No. 59/2024 tentang RPJPN, menegaskan pentingnya pemilihan langsung sebagai bagian tak terpisahkan dari demokrasi. Hal ini didukung oleh pandangan Titi Anggraini, peneliti kepemiluan, yang menyatakan bahwa bongkar pasang sistem pemilu bukan solusi. “Akar masalah sesungguhnya adalah lemahnya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai,” tegasnya.
Namun, kritik ini bukan berarti menafikan masalah mendasar dalam pilkada langsung. Biaya politik yang tinggi memicu pragmatisme, bahkan korupsi. Ironisnya, menurut Titi, korupsi tetap merajalela, baik dalam pemilihan langsung maupun tidak langsung. Kasus OTT KPK terhadap wali kota Pekanbaru menjadi bukti, di mana pejabat yang diangkat pun terjerat korupsi.
Korupsi dalam konteks pemilihan kepala daerah sebenarnya lebih mencerminkan problem perilaku daripada sistem. Dalam banyak kasus, kandidat yang menang, baik melalui pemilihan langsung maupun melalui DPRD, sering kali terbukti korup. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi sistem pemilu tanpa pembenahan budaya politik hanya akan menjadi solusi setengah hati.
Mengapa demikian? Sebagian besar partai politik di Indonesia belum sepenuhnya menerapkan prinsip demokrasi internal. Kandidat sering dipilih berdasarkan kedekatan pribadi atau kemampuan finansial, bukan integritas atau kompetensi. Dalam konteks ini, perubahan sistem pemilu, baik kembali ke DPRD maupun mempertahankan pilkada langsung, hanya akan menghasilkan pemimpin yang sama, dengan pola perilaku yang tak jauh berbeda.
Selain itu, apapun sistemnya, jika korupsi menjadi niat, cara dan jalannya tetap akan ditemukan. Seperti yang dikatakan oleh banyak pihak, fokus utamanya seharusnya adalah memperkuat penegakan hukum. Pelaku korupsi, terutama kepala daerah, harus dihadapkan pada hukuman berat yang memberikan efek jera. Hukuman tersebut dapat mencakup perampasan total aset, ancaman pidana yang panjang, hingga pencabutan hak politik seumur hidup.
Secara politik, usulan pemilihan melalui DPRD menimbulkan kecurigaan akan meningkatnya oligarki dan berkurangnya suara rakyat dalam menentukan pemimpin mereka. Dari sisi hukum, mengubah sistem ini bertentangan dengan desain konstitusional Indonesia. Sementara itu, secara sosial, masyarakat telah menikmati hak untuk memilih langsung pemimpinnya, dan menarik hak tersebut bisa memicu ketidakpuasan publik.
Namun, terlepas dari bentuk sistem yang digunakan, selama partai politik tidak berbenah dan hukum tidak ditegakkan dengan tegas, siklus korupsi akan terus berulang. Apa artinya sistem yang lebih hemat biaya jika pada akhirnya uang rakyat tetap bocor melalui praktik korupsi?
Solusi yang lebih efektif adalah memperkuat integritas sistem demokrasi, bukan sekadar mengganti mekanisme pemilu. Institusi seperti KPK, kejaksaan, dan pengadilan harus diberikan dukungan penuh untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Partai politik juga harus diwajibkan menerapkan transparansi dan demokrasi internal dalam seleksi kandidat. Transparansi pendanaan kampanye pun perlu diperketat agar tidak menjadi sumber awal praktik koruptif.
Hukuman bagi koruptor harus lebih berat dan memberikan efek jera. Hukuman pidana panjang, perampasan aset, dan pencabutan hak politik dapat menjadi langkah konkret. Di sisi lain, rakyat juga perlu diberdayakan melalui edukasi politik yang mendorong mereka memilih pemimpin berdasarkan kualitas, bukan pragmatisme sesaat.
Debat tentang pemilihan kepala daerah adalah refleksi dari dilema demokrasi kita. Mengubah sistem tanpa mengatasi akar masalah hanya akan menjadi siklus kegagalan yang berulang. Indonesia membutuhkan reformasi fundamental dalam budaya politik, bukan sekadar mengutak-atik mekanisme.
Jika ingin memberantas korupsi, mulailah dari langkah konkret: tegakkan hukum dengan keras dan konsisten. Karena bagaimana pun cara pemilihan dilakukan, jika niat korup tetap ada, korupsi akan terus hidup.